Aksi Kolektif Kepala Sekolah yang Mengguncang Otoritas Pendidikan Lotim
Terjemahan

Anews. Suasana Aula UPTD Dikbud Sakra Barat, Kabupaten Lombok Timur mendadak berubah menjadi ruang perlawanan kolektif, ketika Forum Kepala Sekolah se-Kecamatan Sakra Barat yang terdiri dari seluruh kepala SD dan SMP menggelar rapat resmi menolak penempatan seorang pengawas pendidikan berinisial BM di wilayah mereka.

‎Penolakan tersebut bukan tanpa dasar. Dalam surat resmi yang ditandatangani para kepala sekolah, Ketua PGRI Kecamatan Sakra Barat, dan diketahui langsung oleh Kepala UPTD Dikbud Sakra Barat, Kamaludin, setidaknya ada empat poin krusial yang menjadi alasan keberatan atas penempatan pengawas baru itu.

‎Salah satu poin menyebutkan bahwa pengawas BM baru beberapa bulan bertugas di kecamatan sebelumnya, namun secara tiba-tiba dipindahkan ke Sakra Barat. Situasi ini dinilai tidak tepat mengingat tahun ajaran baru baru saja dimulai. Perpindahan mendadak ini berpotensi mengganggu proses penilaian sekolah karena belum adanya sinkronisasi yang baik antara pengawas dan satuan pendidikan di bawahnya.

‎Seorang guru dari SD di Sakra Barat, yang akrab disapa Ibu Nurul, angkat bicara dengan nada kecewa. “Sejak awal kami sudah sampaikan penolakan secara lisan, baik ke UPTD maupun Sekdis Dikbud Lotim. Tapi ternyata suara guru dan kepala sekolah tidak didengar. Mungkin mereka tidak paham regulasi atau memang tidak peduli dengan dinamika di lapangan,” ujar Ibu Nurul dengan nada tajam.

Kejadian ini menjadi preseden penting di Lombok Timur. Untuk pertama kalinya, seorang pengawas yang idealnya menjadi garda depan dalam peningkatan mutu pendidikan justru ditolak secara terbuka oleh para pendidik di wilayah tugasnya. Bukan hanya mencoreng wibawa institusi, peristiwa ini juga menjadi tamparan bagi Dinas Dikbud Lotim, yang kini dipertanyakan sensitivitas dan komitmennya dalam mendengarkan aspirasi pelaku pendidikan di tingkat akar rumput.

Lebih jauh, insiden ini dapat berimbas pada citra pemerintah daerah, terutama Bupati dan Wakil Bupati Lombok Timur, yang selama ini gencar mempromosikan program “Lotim SMART” sebagai wajah baru pelayanan publik, termasuk dalam bidang pendidikan.

‎Sejumlah pihak menilai bahwa pengabaian terhadap aspirasi para guru dan kepala sekolah justru menciptakan kebijakan pendidikan yang tidak partisipatif, bahkan cenderung elitis. “Ini bukan hanya soal satu nama pengawas, ini soal bagaimana komunikasi antara pengambil kebijakan dan pelaksana di lapangan benar-benar dijalankan dengan adil dan terbuka,” kata salah satu kepala sekolah yang enggan disebutkan namanya.

‎Publik kini menunggu, apakah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Timur akan mengabaikan suara kolektif ini, atau justru menjadikannya sebagai cermin untuk memperbaiki cara mereka menyusun kebijakan. Yang pasti, pendidikan tak hanya soal struktur birokrasi ia juga soal rasa keadilan dan keterlibatan.

Baca Juga :  Bupati Lotim Melepas Peserta LATSITARDA Nusantara ke XLII Tahun 2022

 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
terbaru
terlama terbanyak disukai
Inline Feedbacks
View all comments