Salman Faris
Terjemahan

Dalam diskursus kebudayaan populer di Nusa Tenggara Barat, khususnya yang berkaitan dengan ritus Perang Topat, terdapat sebuah hegemoni narasi yang nyaris tak pernah digugat. Narasi tersebut adalah label toleransi. Sebagaimana tercermin dalam banyak catatan orang Sasak maupun orang laur mengenai peristiwa Perang Topat yang didudukkan secara simplistik sebagai wujud toleransi antara masyarakat Sasak (Muslim) dan masyarakat Bali (Hindu). Narasi ini dibangun di atas premis sejarah tentang perdamaian (rapah) pasca-konflik berdarah tahun 1855 yang melibatkan Amaq Salam dari Menjeli melawan Kerajaan Mataram, serta koeksistensi fisik antara bangunan Kemalik dan Pura Gaduh.

Namun, pembacaan yang hanya berhenti pada kata toleransi adalah sebuah pembacaan yang lugu, romantis, dan ahistoris. Toleransi, dalam pengertiannya yang paling banal, mengasumsikan adanya dua entitas utuh yang terpisah, yang kemudian sepakat untuk saling membiarkan atau saling menghormati. Istilah ini menyembunyikan ketegangan, negosiasi kekuasaan, dan strategi bertahan hidup yang jauh lebih rumit. Dengan menggunakan kacamata teori pascakolonial, khususnya konsep hybridity (hibriditas) yang digagas oleh pemikir Homi K. Bhabha, saya berargumen bahwa Perang Topat bukanlah sekadar etalase toleransi yang statis

Sebaliknya, Perang Topat adalah manifestasi dari Ruang Ketiga (The Third Space), sebuah arena kontestasi di mana identitas Sasak dan Bali tidak sekadar berdampingan, tetapi juga saling mengintervensi, meniru (mimicry), dan menghasilkan sebuah identitas baru yang ambivalen. Peristiwa ini bukan sekadar perayaan kegembiraan melupakan perang, namun sebuah strategi budaya yang canggih untuk mengelola trauma sejarah melalui mekanisme hibriditas yang melampaui bineritas penjajah-terjajah atau Islam-Hindu.

Melaui konsep The Third Space of Enunciation atau Ruang Ketiga Enunsiasi, Bhabha menilai bahwa budaya tidak pernah memiliki orisinalitas yang murni. Klaim tentang kemurnian budaya adalah ilusi. Pertemuan antar-budaya, terutama dalam konteks sejarah yang melibatkan penguasaan (seperti relasi Sasak di bawah kekuasaan Karangasem Bali atau Mataram pada masa lalu), selalu menghasilkan momen hibriditas. Hibriditas bukanlah sekadar pencampuran dua hal menjadi satu (seperti gado-gado). Lebih jauh dari itu, sebuah ruang ambang (liminal space) di mana posisi-posisi kultural yang mapan diganggu dan dinegosiasikan ulang.

Sebagaimana yang diketahui umum bahwa Kemalik Lingsar adalah petilasan Datu Milir dari era Kedatuan Medayin yang kemudian disandingkan dengan Pura Gaduh yang dibangun sekitar tahun 1741 atau 1856. Narasi toleransi melihat ini sebagai dua rumah ibadah yang berdampingan. Namun, perspektif Bhabha melihat Kemalik bukan sekadar bangunan fisik yang kosong makna seperti itu. Tetapi Kemalik adalah sebuah Ruang Ketiga.

Pada Ruang Ketiga ini, batas antara yang Islam (merepresentasikan Datu Milir/Sasak) dan yang Hindu (merepresentasikan Mataram/Bali) menjadi kabur. Ketika masyarakat Sasak masuk ke area Lingsar, mereka tidak sedang memasuki wilayah Hindu, pun sebaliknya. Mereka memasuki sebuah zona hibrid di mana simbol-simbol dimaknai ulang. Ketupat (Topat), yang secara kultural lekat dengan tradisi Lebaran Islam Nusantara, digunakan dalam konteks ritual yang waktunya disinkronkan dengan Odalan Hindu dan Pujawali. Ini bukan sekadar toleransi (membiarkan yang lain beribadah), tetapi sebuah intervensi kultural.

Baca Juga :  Di Hadapan Peserta Lemhanas, Gubernur NTB Ungkap 3 Isu Strategis NTB

Masyarakat Sasak di Lingsar tidak mempertahankan identitas Sasak murni yang terpisah total dari Bali, juga tidak menjadi Bali. Mereka menempati posisi in-between (di antara). Keberadaan Kemalik yang disakralkan oleh kedua belah pihak menunjukkan bahwa otoritas makna tidak lagi tunggal. Bagi Bhabha, ruang ini penting karena di sinilah sejarah baru ditulis, bukan sejarah yang didiktekan oleh pemenang perang (Mataram) semata, bukan pula sejarah kekalahan total Sasak, melainkan sejarah negosiasi yang terus-menerus.

Dalam konteks sejarah (entah benar entah tidak, karena orang Sasak menyebutnya sejarah) konflik tahun 1855, di mana Amaq Salam dan pasukan Menjeli menyerbu Mataram, yang berakhir dengan bumi hangus desa Menjeli. Kemudian dimaknai oleh penyembah toleransi sebagai teks yang mendasari kesimpulan bahwa Perang Topat adalah media Rapah (perdamaian) dan cara masyarakat Sasak merubah peristiwa tragis menjadi prosesi budaya yang penuh kegembiraan.

Di sinilah teori Bhabha tentang Mimicry (Mimikri) menjadi pisau bedah yang tajam. Bhabha mendefinisikan mimikri sebagai keinginan untuk memperbaiki yang lain yang dapat dikenali, sebagai subjek dari perbedaan yang almost the same, but not quite (hampir sama, tapi tidak sungguh-sungguh sama).

Dalam konteks Perang Topat, kita melihat sebuah mimikri yang kompleks. Mengapa rekonsiliasi perdamaian harus dirayakan dengan simbol perang (saling lempar)? Mengapa tidak dengan kenduri makan bersama saja?

Penggunaan istilah perang dalam ritual tersebut adalah bentuk ambivalensi. Di satu sisi, meniru (memimikri) konflik historis yang pernah terjadi (perlawanan Sasak terhadap dominasi Mataram). Namun, peniruan ini dilakukan dengan selisih atau perbedaan. Pelurunya adalah ketupat, suasananya adalah sorak sorai, bukan kematian. Menurut Bhabha, mimikri selalu mengandung potensi subversif. Ketika yang terjajah (atau kelompok yang kalah secara militer dalam kasus Menjeli 1855) meniru struktur atau ritual penguasa, atau ketika mereka mereenaksikan kekerasan dalam bentuk ritual, mereka sebenarnya sedang melakukan ejekan atau destabilisasi terhadap kekuasaan itu sendiri.

Perang Topat, dengan demikian, bukanlah tanda kepatuhan total atau penerimaan damai yang pasif (toleransi). Secara mendalamnya dapat dilihat sebagau perlawanan simbolik yang dibekukan dalam waktu. Dengan melempar ketupat, masyarakat Sasak tidak sedang melupakan bahwa mereka pernah dibumihanguskan. Mereka sedang merebut kembali agensi mereka. Mereka mengubah memori trauma kekalahan militer menjadi kemenangan kultural. Perang yang dulu menghancurkan mereka, kini mereka mainkan sebagai lelucon. Ini adalah strategi bertahan hidup yang cerdas dengan menertawakan kekerasan sejarah agar tidak dihantui olehnya.

Baca Juga :  Beri Motivasi Agar Masyarakat NTB Gemar Membaca

Oleh karena itu, menyebutnya sekadar toleransi adalah pengkerdilan makna. Toleransi menyiratkan keadaan yang statis dan harmonis tanpa gejolak. Sementara mimikri dalam Perang Topat menunjukkan adanya mockery (olok-olok) tersembunyi terhadap sejarah kekerasan itu sendiri. Perang Topat adalah ketegangan yang dikelola, sebuah sly civility (kesopanan yang lihai) dalam istilah Bhabha, di mana kepatuhan dan perlawanan hadir bersamaan.

Orang Sasak sangat meyakini bahwa mereka memiliki kearifan untuk mengenang peristiwa tragis dan merubahnya menjadi prosesi budaya yang penuh kegembiraan. Keyakinan ini perlu dikritisi. Dalam psikoanalisis yang sering dirujuk Bhabha (mengambil dari Lacan dan Freud), hal yang ditekan (repressed) akan selalu kembali (return of the repressed).

Tragedi 1855, di mana Desa Menjeli dibumihanguskan dan rakyat tak berdosa menjadi korban, adalah luka sejarah yang menganga. Narasi toleransi mencoba menutup luka ini dengan perban indah bernama harmoni. Namun, hibriditas bekerja dengan cara yang berbeda.

Hibriditas tidak menutup luka, tetapi mentransformasi luka tersebut menjadi identitas baru.
Melalui Perang Topat, identitas masyarakat Sasak tidak lagi didefinisikan semata-mata sebagai korban Mataram atau umat Islam yang taat secara puritan, tetapi sebagai komunitas hibrid yang mampu merangkul kontradiksi. Mereka memelihara petilasan Datu Milir (Islam) tetapi melaksanakannya berbarengan dengan kalender ritual Hindu.

Hal tersebut membuktikan tesis Bhabha bahwa budaya hibrid menantang esensialisme. Kaum puritan mungkin akan melihat ritual ini sebagai sinkretisme yang menyimpang. Kaum nasionalis mungkin melihatnya sebagai toleransi Pancasilais. Namun, dalam kacamata Homi Bhabha, ini adalah survival. Hibriditas adalah strategi bagi mereka yang berada di pinggiran kekuasaan untuk tetap eksis.

Jika Perang Topat hanyalah soal toleransi, maka ritual itu bisa saja diganti dengan dialog antar-iman di gedung pertemuan. Fakta bahwa ritual ini harus melibatkan fisik (saling lempar), harus di tempat spesifik (Kemalik), dan harus pada waktu spesifik, menunjukkan bahwa ada ingatan kolektif yang sedang dinegosiasikan. Ketupat yang berterbangan di udara adalah metafora dari negosiasi yang tak pernah selesai antara dua entitas. Perang Topa sejatinya adalah dialog yang keras, bising, dan kaotis. Bukan dialog yang senyap dan tertib ala toleransi di ruang seminar.

Sangat banyak orang Sasak meyakini bahwa era Kedatuan Medayin dan Datu Milir sebagai legitimasi historis. Bhabha mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap fixity (ketetapan/keterakuan) dalam wacana kolonial atau sejarah. Menganggap Kemalik semata-mata sebagai peninggalan masa lalu yang harus dijaga menjebak kita pada fetisisme sejarah.

Baca Juga :  KPPU Kantor Wilayah IV Kunjungi Wagub NTB

Pandangan hibriditas mengajak kita melihat Perang Topat sebagai proses yang performative (performatif) pada masa kini. Setiap kali ketupat dilempar, identitas Sasak dan Bali sedang diproduksi ulang. Mereka tidak sedang sekadar merawat warisan leluhur. Sebenarnya mereka sedang menegaskan eksistensi mereka di masa kini.

Begitu kuat gerakan dari kalangan orang Sasak sendiri yang berdasarkan prinsip kemestian merajut harmoni. Dari sini, sebenarnya ada secara tidak sadar ingin ditegaskan bahwa pernah terjadi situasi tidak harmonis. Dengan kata lain, gerakan ini adalah pengakuan implisit tentang ketidakstabilan. Hibriditas muncul justru karena ketidakstabilan tersebut. Toleransi seringkali menjadi topeng untuk menutupi ketidakadilan struktural atau ingatan akan kekerasan. Dengan mengatakan ini toleransi. Dengan begitu, kita seolah dipaksa untuk melupakan bahwa pernah ada pembantaian di Menjeli.

Namun, dengan membaca hal tersebut sebagai hibriditas, kita mengakui bahwa perang itu masih ada, namun bentuknya telah bermutasi. Perang fisik telah berubah menjadi perang simbolik. Kekerasan telah disublimasikan menjadi ritual. Ini jauh lebih jujur daripada sekadar melabelinya toleransi. Ini adalah pengakuan bahwa hidup berdampingan (co-existence) memerlukan katup pelepasan (safety valve) untuk menyalurkan residu-residu sejarah konflik.

Karena itu, menempatkan Perang Topat semata-mata dalam kotak toleransi adalah sebuah penyederhanaan yang merugikan kekayaan dialektika budaya Sasak. Toleransi adalah konsep yang pasif, sebuah gencatan senjata. Sementara apa yang terjadi dalam Perang Topat adalah sesuatu yang aktif, dinamis, dan subversif.

Perang Topat adalah perayaan hibriditas. Bahwa di perbatasan pertemuan budaya, di celah-celah kekuasaan, dan di sisa-sisa trauma sejarah, tumbuhlah Ruang Ketiga. Di ruang ini, masyarakat Sasak dan Bali tidak melebur hilang, tetapi menciptakan entitas budaya baru yang cair.

Ketupat yang dilemparkan bukanlah tanda bahwa mereka telah melupakan masa lalu yang kelam (perang 1855), melainkan tanda bahwa mereka telah berhasil menjinakkan masa lalu itu. Mereka mengambil simbol kekerasan (perang) dan membalikkannya menjadi simbol kesuburan dan keberkahan. Ini bukan kerja toleransi yang santun. Ini adalah kerja kebudayaan yang radikal.

Sudah saatnya kita berhenti menggunakan jargon usang toleransi yang seringkali hanya menjadi lipstik politik. Mari kita mulai mengapresiasi Perang Topat sebagai trategi budaya hibrid, di mana perbedaan tidak dihapus, tetapi dirayakan dalam sebuah kekacauan yang terukur, sebuah ambivalensi yang indah, dan sebuah negosiasi identitas yang terus-menerus menjadi (becoming).Perang Topat bukan toleransi. Ia adalah hibriditas yang menyelamatkan kemanusiaan kita dari dendam sejarah.

Malaysia: Jumat, 5 Desember 2025

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
terbaru
terlama terbanyak disukai
Inline Feedbacks
View all comments