AmpenanNews Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita Autopilot , i kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhamad Iqbal, yang mengungkap pandangannya tentang kondisi Pekerja Migran Indonesia atau yang dulu populer disebut Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sering dianggap sebagai kelompok rendah. Lalu Iqbal menyoroti posisi TKI sebagai struktur kerja paling bawah di berbagai negara, dengan sejumlah tantangan terkait pendidikan, pemahaman hak dan kewajiban, serta etika dalam perjalanan dan di tempat kerja.
“ Cara pandang dunia baik negara penerima maupun negara lain terhadap TKI kita itu berada di low class. Jadi kelas yang paling bawah dalam struktur labor di negara-negara manapun. Uneducated, tidak tahu hak dan kewajiban, tidak tahu etika di perjalanan, dan sebagainya. Itu kan tertanam dan itu adalah fakta yang harus kita terima,” jelas Lalu Iqbal saat dihubungi belum lama ini.
Mamasalah terbesar terkait TKI lanjut Lalu Iqbal, adalah kurangnya perhatian dalam persiapan sebelum mereka berangkat ke luar negeri. Lalu Iqbal menyebut bahwa persiapan untuk menjadi TKI terasa kurang memadai, di mana mereka hanya disiapkan setelah mendaftar sebagai calon TKI. Selain itu, terdapat penyalahgunaan dalam proses persiapan dan pemberian sertifikat tanpa pelatihan yang memadai.
“ Itu terjadi karena TKI kita itu autopilot. Intervensi pemerintah terutama di daerah terhadap penyiapan TKI kita itu sangat lemah. Jadi orang baru disiapkan jadi TKI ketika dia sudah daftar untuk menjadi TKI. Harusnya dia pelatihan 400 jam, baru 20 jam sudah dikasih sertifikat, kemudian diberangkatkan. Sehingga kebanyakan TKI kita tidak well prepare,” jabar Lalu Iqbal.
Begitu juga Lalu Iqbal menggarisbawahi pentingnya mempersiapkan calon TKI secara lebih menyeluruh dengan pelatihan yang lebih intensif, termasuk pendidikan mengenai hak-hak, kewajiban, literasi perbankan, pengelolaan keuangan, dan keterampilan migrasi yang aman.
Lalu Iqbal juga menegaskan bahwa menjadi TKI seharusnya merupakan pilihan, bukan karena keterpaksaan akibat tidak adanya pilihan lain. Oleh karena itu, pendidikan mengenai kemungkinan-kemungkinan pekerjaan lokal dan di luar negeri seharusnya menjadi bagian integral dalam kurikulum pendidikan, terutama di tingkat SMP dan SMA.
“ Idealnya adalah kita tidak ingin TKI di level itu. TKI itu harus menjadi pilihan, bukan keterpaksaan. Jadi mereka harus ada pilihan di lokal, mau kerja di lokal, atau mau kerja di luar negeri. Dan persiapan itu harus kita lakukan, itu harus embedded, harus terintegrasi di dalam kurikulum sekolah. Terutama di SMP sama SMA. Kita harus siapkan,” kata Lalu Iqbal.
Ia juga menyadari bahwa kemiskinan merupakan akar masalah utama yang mendorong banyak orang menjadi TKI. Kurangnya lapangan kerja dan masalah konservasi lahan pertanian menjadi faktor penting yang memaksa banyak orang berangkat bekerja di luar negeri.
“ Kemiskinan itu membuat mereka tidak punya pilihan lain selain menjadi TKI. Nah kemiskinan ini penyebabnya kan banyak. Satu, karena kegagalan kita untuk menciptakan lapangan kerja. Kedua, kegagalan kita untuk mengkonservasi lahan pertanian. Lahan pertanian ini dari waktu ke waktu jumlahnya menyusut. Sementara 70% petani yang kita sebut petani di NTB itu adalah petani gurem. Mereka yang hidup dari bekerja di sektor pertanian. Bukan pemilik tanah. Nah ketika lahan pertanian yang menyusut, maka lahan pekerjaan mereka hilang. Satu-satunya pilihan mereka adalah pergi, sementara keahlian mereka cuma itu,” papar Lalu Iqbal.
Bukan itu saja, Lalu Iqbal juga menyoroti tanggung jawab pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial bagi keluarga yang ditinggalkan, terutama jika yang pergi adalah ibu. Ia menggarisbawahi pentingnya menciptakan jaringan sosial yang kuat untuk mendukung anak-anak yang ditinggalkan agar tetap terurus dengan baik.
Dari analisisnya, Lalu Iqbal menyoroti sejumlah masalah sosial yang perlu diperhatikan pemerintah terkait TKI, seperti perlunya persiapan yang lebih baik bagi calon TKI sebelum mereka memutuskan untuk bekerja di luar negeri.