Anews. Pemerintah Kabupaten Lombok Timur (Lotim) mengambil langkah berbeda terkait nasib 1.600 tenaga honorer yang tidak masuk dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN). Meski aturan pemerintah pusat mengharuskan mereka dirumahkan, Bupati Lombok Timur H. Haerul Warisin memilih memberi kelonggaran agar para honorer itu tetap bisa bekerja.
“Seharusnya mereka semua ini dirumahkan, tetapi kebijakan pemerintah daerah, kita biarkan mereka sesuai dengan keinginannya. Dia mau tetap, silakan,” ujar Haerul Warisin seusai memberikan pengarahan dalam acara Sinkronisasi dan Harmonisasi Program Pemerintah Pusat dan Daerah di Pendopo I, Kamis (6/11/2025).
Kebijakan ini diambil di tengah proses panjang pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang saat ini masih berproses di tingkat daerah. Dari total kuota 11.029 formasi, sekitar 8.000 lebih data sudah masuk tahap pemrosesan oleh pemerintah daerah. Haerul berharap seluruhnya bisa segera rampung agar status ribuan tenaga honorer di Lombok Timur mendapat kepastian hukum dan administratif.
Namun, nasib berbeda dialami sekitar 1.600 honorer yang tidak tercantum dalam data BKN. Mereka termasuk dalam kelompok non-database atau tidak tercatat secara resmi, sehingga tak dapat ikut serta dalam proses seleksi atau pengangkatan P3K.
Bupati Haerul mengaku tetap berupaya memperjuangkan mereka. Ia berharap pemerintah pusat segera mengeluarkan regulasi baru yang bisa memberi jalan keluar.
“Kami berharap dalam waktu dekat ada aturan dari pemerintah pusat yang memungkinkan mereka di-SK-kan, misalnya dengan SK Bupati. Itu demi memberi kepastian dan ketenangan bagi mereka dalam bekerja,” katanya.
Haerul juga memberi kebebasan bagi para tenaga honorer non-database untuk memilih: tetap bekerja di tempat semula sambil menunggu kejelasan status, atau mencari pekerjaan lain, termasuk peluang di luar negeri.
Meski demikian, ia menegaskan tidak ada kenaikan honorarium bagi kelompok ini. Pemerintah daerah hanya bisa mempertahankan besaran honor yang sama seperti tahun sebelumnya, mengingat belum ada dasar hukum untuk menambah anggaran.
“Untuk honor yang mereka terima sama dengan tahun lalu, karena kita tidak bisa menambah,” ujarnya menegaskan.
Kebijakan ini mencerminkan posisi dilematis pemerintah daerah: di satu sisi, terikat aturan nasional yang ketat; di sisi lain, dihadapkan pada tuntutan sosial dan moral untuk menjaga keberlangsungan tenaga honorer yang selama ini menjadi tulang punggung layanan publik di Lombok Timur.
