Kota mataram sebagai Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang juga merupakan pusat segala aktivitas perekonomian,sosial, budaya, bahkan Pendidikan.
Namun ternyata berbagai polemic masih massif terjadi bahkan PR Besar bagi pemerintah kota untuk menyelesaikannya. Pemerintah Kota Mataram ditengah kesibukannya akhir-akhir ini untuk menyambut HUT Kota Mataram yang ke 29 Tahun ternyata masih mengabaiakan persoalan lainnya.
Persoalan Kesejahteraan Sosial masih masif terjadi. Semisal masalah sosial yang menjadi tanggung jawab besarnya yakni kasus pengemis, anak jalanan masih sulit tertangani.
Kejadian seperti ini biasanya disebabkan oleh kemiskinan,lapangan pekerjaan yang sangat minim, serta terbatasnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan masyarakat harus terus berjuang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa harus menjadi pengemis dan gelandangan.
Pada tahun 2019-2020 diterbitkan oleh PPKS (Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial) Nusa Tenggara Barat menyajikan data dalam bentuk tabel bahwa sebanyak 4.902 orang yang tergolong dalam balita terlantar, anak terlantar, gelandangan dan pengemis.
Dalam table data tersebut, berbeda dengan 9 kota/kabupaten lainnya, tidak tertulis angka (bahkan angka 0) Pada data anak jalanan di kota Mataram.
Jika data tersebut disajikan dan dibandingkan, sebelum angka anak jalanan di kota mataram dicantumkan, maka kota mataram menjadi ketiga dengan jumlah balita terlantar, anak terlantar, gelandangan, pengemis dan anak jalanan terbanyak setelah Sumbawa dan Lombok Timur.
Beberapa titik yang sering dijadikan tempat mangkal pengemis dan anak jalanan adalah perempatan Jalan Airlangga Gomong, persimpangan jalan bung karno dekat kantor dprd golkar ntb, perempatan sweta,dan jalan bung hatta.
Pengemis dan anak jalanan ini juga biasanya menyebar ke rumah-rumah makan,Universitas bahkan di beberapa lokasi wisata seperti di Pantai ampenan, Taman sangkareang,taman budaya dan beberapa titik lainnya.
Undang – Undang Dasar Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi fakir miskin dan anak – anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.
Karenanya fakir miskin pun berhak untuk memproleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan; memproleh pelayanan kesehatan dan pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; mendpatkan perlindungan social dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya; mendapatkan pelayanan social melalui jaminan social, pemberdayaan social, dan rehabilitasi social dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan kelurganya; memproleh derajat kehidupan yang layak; memperolah lingkungan hidup yang sehat; meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Selain persoalan anak jalanan persoalan alih fungsi lahan terus terjadi tiap tahunnya di kota mataram,lahan-lahan produktif yang seharusnya menjadi lahan pertanian di alih fungsikan menjadi Perumahan,Ruko, perkantoran dan lain-lain yang akan berdampak terhadap berkurangnya lahan pertanian.
Menurunnya produksi pangan nasional, mengancam keseimbangan ekosistem, banyak buruh tani yang kehilangan pekerjaan serta harga pangan semakin mahal.
Sebagaimana perlindungan Kawasan lahan pertanian dalam peraturan daerah kota mataram nomor 12 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah kota mataram.
Sekarang lahan pertanian di kota mataram 1.483 hektare dari tahun sebelumnya 1.513 hektare (Data dari dinas pertanian kota mataram) itu artinya 30 hektare lahan sudah beralih fungsi dalam kurun waktu satu tahun.
Seharusnya pemerintah harus serius untuk menangani persoalan alih fungsi lahan ini yang akan berdampak terhadap berbagai sector.
Penulis :
Hamzan Watoni (Menteri Sosial Politik BEM Universitas Mataram 2022)