Anews. Gelombang keresahan melanda masyarakat Lombok Timur pasca kebijakan penonaktifan massal kartu Kartu BPJS PBI oleh pemerintah pusat, para operator Desa selaku pembantu Dinas sosial pun tampak sibuk melayani masyarakat hanya sekadar ingin memastikan apakah kartu JKN, KIS atau BPJS PBI nya masih aktif atau sudah non aktif . Dalam dua bulan terakhir, lebih dari 108 ribu warga, 95 ribu lebih di bulan Mei dan 13 ribu lebih di bulan Juni dinyatakan tidak lagi menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan kategori PBI tanggungan pusat.
Kabar ini tak hanya mengejutkan, tetapi juga menyisakan luka bagi warga yang selama ini menggantungkan akses layanan kesehatannya pada bantuan negara.
”Baru tahu kartu saya tidak aktif waktu mau periksa di puskesmas,” ujar ifan (40) warga Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur dengan suara tertahan.
Ifan bukan satu-satunya. Tim redaksi menemukan banyak kasus serupa, di mana masyarakat yang tergolong tidak mampu tiba-tiba kehilangan hak akses kesehatan gratis tanpa pemberitahuan yang memadai.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Lombok Timur, H.Suroto, akhirnya angkat bicara merespons keluhan masyarakat tersebut.
”Kami sangat memahami kekhawatiran masyarakat. Penonaktifan ini adalah kebijakan dari pemerintah pusat, bukan dari daerah. Tapi kami di daerah tentu tidak tinggal diam. Saat ini kami sedang melakukan verifikasi dan pengusulan ulang data warga yang memang masih layak untuk mendapatkan JKN PBI,” jelasnya saat diwawancarai media diruang kerjanya pada Jumat (18/7/2025
Suroto, juga menyebutkan kartu JKN yang dinonaktifkan oleh pemerintah pusat tersebut masih bisa di aktifkan kembali dalam tiga hari, dengan catatan lagi emergency atau membutuhkan layanan kesehatan mendesak (sakit parah) dan mampu menunjukan bahwa masyarakat tersebut betul miskin atau tidak mampu melalui Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang diterbitkan oleh Desa.
Minim Sosialisasi, Rakyat Terluka Dua Kali
Yang menjadi ironi, banyak dari warga tidak tahu-menahu bahwa mereka telah kehilangan status sebagai peserta aktif JKN pusat. Tidak ada sosialisasi langsung, tidak ada pemberitahuan resmi.
”Ini menyakitkan. Kami sudah susah, sekarang malah makin susah hanya karena status kartu yang kami pun tidak tahu sudah non aktif,” ungkap seorang warga yang enggan menyebut namanya dan seorang buruh tani.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius tentang tata kelola data dan komunikasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Mengapa data warga miskin bisa berubah drastis dalam waktu singkat? Dan mengapa verifikasi tidak melibatkan partisipasi aktif warga yang terdampak?
Kebijakan Sentralistik yang Tidak Membumi
Dalam narasi besar efisiensi anggaran negara, kebijakan penonaktifan massal ini mungkin dimaksudkan untuk membersihkan data ganda atau penerima yang dianggap tidak layak lagi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak warga yang masih miskin justru ikut terdepak.
”Yang perlu dievaluasi bukan hanya data, tapi pendekatan kebijakan itu sendiri. Kita tidak bisa terus-menerus membuat keputusan dari atas tanpa memahami realitas masyarakat di bawah,” tegas seorang aktivis kesehatan lokal yang enggan disebut namanya.
Jalan Panjang Mengakses Ulang Hak Dasar
Pemerintah daerah kini tengah berupaya mengusulkan kembali warga yang terdampak untuk masuk dalam kuota penerima bantuan. Namun proses ini tidak instan. Sementara itu, warga terpaksa mengurungkan niat berobat atau menggadaikan harta demi layanan dasar yang seharusnya dijamin negara.
”Ini soal nyawa. Kalau masyarakat tidak bisa berobat karena tak mampu, lalu negara hadirnya di mana?” pungkas aktivis tersebut.
Sebelumnya Bupati Kabupaten Lombok Timur juga menyoroti terkait dengan kebijakan program pusat tersebut.
Dalam sambutannya, Bupati mengungkapkan bahwa sejak Mei 2025, sebanyak 95.526 peserta PBI JK di Kabupaten Lombok Timur telah dinonaktifkan, mengikuti kebijakan nasional yang diterapkan di berbagai daerah. Pemerintah daerah, melalui koordinasi intensif dengan Kementerian Sosial, telah mengupayakan solusi atas persoalan ini. Namun, Bupati menekankan pentingnya peran aktif kepala desa dalam memperbarui data penduduk secara berkala, agar keberlanjutan program bantuan dapat terjaga.
“Pemadanan data yang akurat sangat penting agar iuran BPJS yang dibayarkan oleh pemerintah benar-benar tepat sasaran,” tegas Bupati.
Ia juga meminta kepala desa untuk aktif melaporkan pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat di fasilitas kesehatan setempat sebagai bagian dari upaya peningkatan layanan kesehatan.