Anews. Tradisi adat Ngayu Ayuyang digelar tiga tahun sekali di Desa Sembalun, Lombok Timur, kembali dilaksanakan dengan khidmat. Tradisi ini bukan sekadar ritual budaya, namun mengandung nilai-nilai luhur berupa tuntunan hidup, doa, dan harapan bagi kesejahteraan masyarakat.
Hal tersebut ditegaskan oleh Bupati Lombok Timur, H. Haerul Warisin, dalam sambutannya pada puncak acara Ngayu Ayu. Ia menekankan pentingnya keterlibatan generasi muda agar tradisi ini tidak hanya dihadiri secara seremonial, tetapi dilestarikan dan diimplementasikan di masa depan.
“Ngayu Ayu adalah gambaran hubungan harmonis antara manusia dengan alam dan isinya. Tidak mengherankan jika masyarakat Sembalun dikenal hidup sejahtera dan tidak ada yang tergolong miskin,” jelas Bupati.
Ia juga menyampaikan apresiasi kepada masyarakat Sembalun atas komitmen mereka dalam menjaga kelestarian adat istiadat. Ucapan terima kasih pun disampaikan kepada para tamu undangan dari berbagai daerah di Nusantara, termasuk raja, ratu, tokoh adat, dan Gubernur NTB beserta rombongan.
Gubernur Nusa Tenggara Barat, H. Lalu Muhammad Iqbal, yang turut hadir bersama Ketua TP PKK Provinsi NTB, menyebut Ngayu Ayu sebagai wujud rasa syukur atas anugerah kemakmuran serta bentuk penghormatan terhadap alam, khususnya Gunung Rinjani.
“Tradisi ini adalah simbol keseimbangan dan harmoni antara manusia dan alam. Kami berharap, budaya luhur seperti ini terus dijaga dan diwariskan,” ujarnya.
Rangkaian Prosesi Ngayu Ayu
Ngayu Ayu diawali dengan pengambilan air dari 13 mata air oleh para pemangku adat, kemudian dikumpulkan di Berugak Desa Sembalun Bumbung. Prosesi dilanjutkan dengan pembacaan lontar oleh Pujangga Sasak, serta sesampang – sebuah pemberitahuan spiritual kepada leluhur dan penguasa alam.
Ritual ini juga mencakup penyembelihan kerbau, dimana kepala kerbau dikubur sebagai pantek atau pasak bumi, simbol penguatan spiritual dan keseimbangan tanah Sembalun.
Keesokan harinya, pemberangkatan air yang sudah diambil dari 13 mata air menuju lapangan upacara adat, disambut dengan tarian Tandang Mendet. Prosesi puncak, Mapakin, diawali dengan silaturahmi antara sesepuh adat dan tamu kehormatan, lalu dilanjutkan dengan tiga prosesi lempar ketupat yang melambangkan kesempurnaan shalat lima waktu, kesempurnaan bulan purnama, serta 25 Nabi dan Rasul.
Sebagai penutup, digelar Perang Pejer, simbol penolak bala, serta penumpahan air di Kali Pusuk sebagai perlambang penyatuan unsur-unsur alam seperti air, tanah, hutan, dan unsur kehidupan lainnya.