Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip
Terjemahan

Ada apa lagi dengan kecimol? Mengapa gara-gara Kecimol masyarakat kini riuh rendah lagi? Mengapa opini masyarakat terbelah dalam membincangkan Kecimol, ada yang pro dan ada yang kontra? Pertanyaan demi pertanyaan menggelayut terus di benak saya tatkala memperhatikan sejumlah thread pembicaraan di sejumlah platform media.

Beberapa tahun lalu isu Kecimol ini sempat menjadi polemik dan beberapa tokoh masyarakat dan intelektual Sasak, termasuk saya, ikut berpendapat di salah satu media terkait hal ini. Dan syukurlah sempat mereda. Tentu bukan karena saya. Akan tetapi meredanya kala itu karena perhatian tokoh masyarakat dan tokoh adat secara sigap berusaha menenangkan pihak-pihak yang pro maupun yang kontra. Namun, akhir-akhir ini mencuat lagi. Bahkan tak pelak isu ini cenderung mengarah ke hal yang tidak diinginkan. Semakin memanas. Isunya pun semakin melebar. Perdebatan-perdebatan di medsos memperuncing persoalan ini. Tidak sedikit memandang bahwa Kecimol ini bukan budaya Sasak. Tidak sedikit pula yang memandang bahwa keberadaan Kecimol merusak tatanan sosial. Namun tidak sedikit masyarakat yang merasa keberatan jika Kecimol dibubarkan. Hal ini mereka memandangnya sebagai sumber penghidupan maayarakat. Oh Kecimol, riwayatmu kini. Sungguh sangat meresahkan.

Marilah kita coba mendedah apa sih itu Kecimol? Kita pasti tahu dan memahaminya sebagai seni musik yang berisi sejumlah orang memainkan alat-alat musik band berupa gitar, organ, drum, recik, biola, suling dan seterusnya lengkap dengan salon besar yang disorong dalam rangka mengiring lantunan suara vokalis, serta dibarengi sejumlah penari. Suaranya sangat menghentak. Para pelakunya umumnya kaula muda. Mereka tampak berpakaian seragam disertai pakaian adat seperti Sapuq (kain ikat kepala). Kecimol ini diundang umumnya untuk memeriahkan pesta perkawinan dan mengiringi kirab penganten yang dikenal dengan Nyongkolan.

Kecimol diketahui sudah cukup lama eksis atau hadir di masyarakat Sasak sebagai seni musik baru. Ia hadir sebagai tuntuan tren zamannya. Adalah kaula muda yang kreatif di seni musiklah yang menjadi aktor utamanya, yang pada saat yang sama didukung oleh orang tua yang cukup jeli memandangnya sebagai bidang usaha baru. Kemunculannya ini sebagai fenomena baru seiring jenis-jenis musik dan lagu-lagu yang muncul di media nasional berupa dangdut koplo, pop rock, dan lagu India yang makin menjamur sebagai tontonan masyarakat Sasak.

Baca Juga :  Kasum TNI Tiba di Lombok Diberi Gelar " Adipati Yudha Negare "

Dengan kata lain, Kecimol ini merupakan seni musik kreasi, yang tumbuh jauh kreatif dan lebih menghidupkan suasana hati dan kegembiraan masyarakat. Masyarakat seakan terhipnotis untuk bergerak lalu berdansa dengan wajah riang ketika mendengar lagu-lagu yang dimainkan grup musik Kecimol ini. Inilah tren! Masyarakat lebih menyukai musik nge-beat yang pragmatis ketimbang musik estetis yang meninabobokan. Sebagai konsekuensinya, Kecimol menjadi idola masyarakat. ia menjamur layaknya di musim hujan. Kini sudah lebih dari 250-an grup musik Kecimol yang terdata. Ini semua karena tuntutan masyarakat, yang memandang bahwa Kecimol dirasa lebih menghibur ketimbang grup musik tradisional.

Lalu apakah Kecimol bukan budaya Sasak? Sebentar dulu. Jangan kita menilainya sebagai bukan budaya Sasak. Perlu diingat bahwa budaya itu hal yang sangat luas. Budaya adalah hasil cipta karsa manusia. Budaya hadir sebagai media pemenuhan kebutuhan manusia. Jadi, dengan kata lain, budaya tidak semata-mata harus mengacu pada soal nilai, norma, ataupun kearifan saja. Selama sesuatu itu muncul dan diciptakan oleh manusia dan menjadi milik manusia, maka ia bisa dikategorikan sebagai budaya. Secara teoretis, budaya itu berupa “complex whole” (keseluruhan yang kompleks), istilah Edward Taylor, yang melingkupi kehidupan manusia. Clyde Kluckhon, yang diamini oleh Koentjaraningrat, menyebut ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. Di antara ketujuh unsur itu ada kesenian. Bahkan, dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 tahun 2017, yang menjadi turunan dari Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kebudayaan Nasional, menyebut ada 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan, yang salah satunya ada kesenian. Artinya kesenian, apapun jenis dan bentuknya selama murni muncul dan berkembang di suku bangsa atau masyarakat tertentu, menjadi indikator khas dan utama eksistensi masyarakat tersebut. Bahkan bersamaan hadirnya Undang-Undang No 5 di atas, pemerintah memiliki alat khusus yang disebut dengan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang tentu mengukur indeks kemajuan atau pembangunan kebudayaan suatu bangsa. Tidak hanya itu, dengan IPK ini, pemerintah melihat sejauh mana peran budaya di dalam meningkatkan ekonomi masyarakat (ekonomi kreatif) yang disebutnya sebagai dimensi ekonomi budaya.

Baca Juga :  Peletakan Batu Pertama Bale Bubus Batu Kelopok Desa Jurit Pringgasela Lotim

Lalu kembali ke pertanyaan di atas. Jika berkaca dari pemikiran konseptual di atas, maka Kecimol termasuk budaya Sasak. Apa sebab? Ia hadir dan tumbuh dari dalam diri masyarakat Sasak. Ia hadir sebagai bentuk kreativitas seni masyarakat. Ia adalah seni hibrid antara tradisional dan modern. Ia hadir dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat Sasak pada zaman kekinian atau kontemporer. Ia hadir dalam rangka menjadi lahan penghidupan masyarakat. Ia hadir sebagai turunan seni Sasak sebelumnya yang dikenal sebagai Cilokaq. Kecimol merupakan seni pertunjukan secara live di masyarakat yang bisa langsung dinikmati oleh masyarakat sebagai media hiburan. Dalam posisi ini perannya kurang lebih sama dengan seni musik tradisional seperti Gendang Beleq ataupun Seni Rudat. Sama-sama dipertunjukkan dan dipertontonkan di tengah masyarakat.

Dengan demikian, Kecimol seyogyanya diterima sebagai seni musik kreasi di masyarakat. Betul, Kecimol bukanlah seni musik tradisional Sasak yang sebelumnya sudah mendarah daging di masyarakat Sasak. Meskipun demikian, keberadaan Kecimol buru-buru kita pandang sebagai seni musik impor dan bukan budaya Sasak. Sekali lagi, Kecimol itu adalah seni musik kreasi dan hadir atas dasar tren kebutuhan masyarakat. Masyarakat Sasak yang menyukai hal yang pop dan pragmatis. Dengan begitu, Kecimol itu, suka tidak suka, hendaknya dipandang juga sebagai budaya. Hanya saja ia sebagai budaya massa dan pop (mass and pop culture) bukanlah budaya adiluhung (magnum opus atau highly valued culture) masyarakat Sasak.

Kemudian kembali pertanyaan soal kemunculannya sebagai sumber polemik dan bahkan konflik di masyarakat. Dalam pandangan saya, hal yang menjadi masalah bukanlah pada kreasi dan penampilan musikalitasnya, namun terletak pada aksi koreografisnya — aksi tarian yang vulgar, yang erotis, atau yang tak senonoh. Tentu ini memang patut menjadi keresahan bersama mengingat sistem masyarakat Sasak itu terbangun atas dasar religusitas Islam yang sangat normatif-fiqiyah. Soal ini pernah saya sampaikan di acara talkshow di TVRI ketika isu ini heboh pada tahun-tahun sebelumnya.

Baca Juga :  Pelatihan Sastra Daerah Penulisan Tembang Lelakak dan Bewaran oleh Pembasak

Dalam pandangan saya mengapa persoalan ini belum selesai, karena pemangku kebijakan (dalam hal ini pemerintah) cenderung mendekati persoalan ini terlampau formalistik. Hendaknya pemerintah membuat regulasi yang jelas dan tegas, namun pada saat yang sama mendekati para pelaku seni Kecimol secara kemanusiaan. Pendekatan ini harus berkali-kali. Dan jika perlu ada kontrak atau perjanjian tertulis antara pemerintah, pihak keamanan, dan para grup seni musik Kecimol. Kontrak itu dibuat atas dasar regulasi yang sudah dibuat yang sebelumnya sudah dipahamkan atau disosialisasikan ke grup-grup Kecimol yang ada di wilayah setempat. Jika mereka mengerti, baru kontrak perjanjian ditandatangani bersama, semua pihak terkait. Poin kontrak yang harus disepekati adalah tidak diperbolehkan untuk melakukan tari-tarian erotis dan mabuk-mabukan ketika Kecimol itu melakukan pertunjukan. Jika melakukan hal itu, pemerintah dan pihak keamanan berhak menangkap pelaku itu dan izin operasional grup Kecimol itu dicabut berdasar regulasi yang sudah dibuat. Untuk ini, kita sangat berharap sekali regulasi terkait Kecimol atau pertunjukan seni musik lainnya segera dikeluarkan oleh Pemerintah dan Dewan sebagai payung hukum utama. Janganlah Perdes (Peraturan Desa) saja. Hal ini dirasa masih belum kuat sebagai payung hukum.

Dengan model pemikiran seperti ini, keberadaan Kecimol tidak dimatikan karena dipandang sebagai bentuk ekonomi kreatif dan pada saat yang sama masyarakat Sasak yang religius tidak ternodai oleh aksi-aksi tarian erotisnya karena sudah dilarang secara regulatif. Saatnya para tokoh berpikir dingin dan bijak menyelesaikan masalah ini secara komprehensif (win-win solution), serta berhati-hati dalam berbicara di publik. Semoga masyarakat Sasak senantiasa dalam keadaan rukun, aman, dan nyaman. Sekian!

Mataram, 21 Nopember 2025
Penulis adalah Guru Besar Sastra dan Budaya Unram.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
terbaru
terlama terbanyak disukai
Inline Feedbacks
View all comments