Matinya Demokrasi di Unram, Dosen dan Mahasiswa Serukan Perlawanan
Terjemahan

Anews. Situasi demokrasi di Universitas Mataram (Unram) makin keruh. Sejumlah dosen, mahasiswa, dan alumni kampus terbesar di NTB itu menggelar diskusi dan konsolidasi aksi bertema “Matinya Demokrasi di Kampus: Membongkar Kejanggalan Senat dan Upaya Penjegalan Kandidat Calon Rektor Unram” di Kedai Bumi Resto, Kamis (16/10).

Di Forum ini menjadi titik ledak baru dari kemarahan akademisi terhadap dugaan rekayasa politik kampus menjelang pemilihan rektor baru. Dosen, mahasiswa, hingga alumni bersuara senada: demokrasi di Unram telah mati, dikubur oleh kekuasaan yang ingin mempertahankan diri dengan segala cara.

Dengan Sanksi Etik Tanpa Proses, Dosen Gugat ke PTUN

Salah satu Dosen Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri (Fatepa), Dr. Ansar, menjadi salah satu wajah perlawanan. Ia menceritakan bagaimana dirinya dijatuhi sanksi etik kategori berat tanpa pemeriksaan dan tanpa dasar hukum yang jelas.

Baca Juga :  Danrem 162/WB Sambut Tim Initial Planning Latma Pacific Angel 2020

“ Ini kriminalisasi akademik. Saya hanya ingin menggunakan hak saya untuk mendaftar senat, tapi malah dijadikan sasaran politik,” ujarnya.

Dr. Ansar mengungkap, setelah ia menggugat ke PTUN, sanksi itu mendadak dicabut—namun waktunya sudah habis untuk mendaftar sebagai anggota senat.

“ Akal-akalan mengerikan. Jadwal dibuat maraton, protes tak didengar, proses terus jalan. Demokrasi di Unram mati suri,” tegasnya.

Ansar menilai tindakan itu bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi indikasi sistematis pembungkaman hak politik dosen, dengan memanfaatkan regulasi internal yang direkayasa demi kepentingan segelintir elit kampus.

Gaya Premanisme Akademik

Dari nada lebih keras datang dari David Putra Pratama, S.H, alumni Fakultas Hukum Unram. Ia menuding kepemimpinan universitas telah berubah menjadi arena kekuasaan yang menjijikkan.

Baca Juga :  "Wujudkan SDM yang Unggul" Tema Rakernis SDM 2020 Dibuka Kapolda NTB

“ Rektor yang seharusnya menjadi teladan justru mempertontonkan politik kotor di hadapan civitas akademika. Ini premanisme akademik,” ujarnya lantang.

pemilihan rektor, lanjutnya, seharusnya menjadi ajang kompetisi ide, bukan permainan kekuasaan untuk menjegal calon tertentu.

“ Kalau cara-cara seperti ini dibiarkan, kami siap turun ke jalan. Ini tanggung jawab moral kami sebagai alumni,” tegasnya.

Dari Kecurangan Terbuka dan Konsolidasi Aksi

Begitu juga kritik juga datang dari M. Affan Fadilah, mantan Ketua DPM Unram sekaligus koordinator Forum Mahasiswa Penjaga Demokrasi Kampus (FOKUS). Ia membeberkan kejanggalan demi kejanggalan selama proses penjaringan senat dan calon rektor.

“ Senat dilantik tanpa SK, baru muncul setelah desakan publik. Ada sanksi etik disampaikan lisan, baru diformalkan setelah aksi mahasiswa. Di MIPA, pemilihan bahkan pakai form berisi nama pemilih dan yang dipilih, jelas-jelas tidak rahasia,” ungkap Affan.

Baca Juga :  IFPIM Luncurkan Kemitraan Global Jaminan Keragaman Bahasa dan Konten Jurnalistik dalam Teknologi AI

Affan menyebut, mahasiswa kini bersiap melakukan aksi besar-besaran jika Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak segera turun tangan.

“ Kampus ini sedang darurat demokrasi. Kami tidak akan diam jika ruang akademik dirusak oleh kepentingan politik,” ujarnya.

Dilayangkan tuntutan ke Kemendikbudristek

Selain itu, para peserta forum menyepakati satu hal: Kementerian harus melakukan audit kepatuhan terhadap seluruh proses pemilihan senat dan rektor Unram. Mereka menilai, kejanggalan yang terjadi bukan lagi sekadar pelanggaran etik, melainkan bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran terhadap asas-asas keadilan akademik.

“ Jika dunia pendidikan dibusuki kesewenang-wenangan, maka yang mati bukan hanya demokrasi kampus, tapi juga nurani bangsa,” ujar Dr. Ansar menutup pernyataannya. (pr)

 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
terbaru
terlama terbanyak disukai
Inline Feedbacks
View all comments