Anews. Menjelang pemilihan Rektor Universitas Mataram (Unram) periode 2026–2029, suasana akademik kampus terbesar di Nusa Tenggara Barat memanas. Tiga kasus dari fakultas berbeda menyingkap rangkaian kejanggalan yang dinilai berpotensi mengguncang legitimasi pemilihan Senat dan Rektor.
Mulai dari sanksi etik tanpa pemeriksaan, dugaan intervensi pemilihan di Fakultas Teknik, hingga pelantikan senat tanpa SK dan bukan oleh rektor.
Saat ini, Gugatan Dosen FATEPA ke PTUN: “Saya Dijatuhi Sanksi Etik Tanpa Sidang”
Pada kasus pertama datang dari Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri (FATEPA). Seorang dosen, Dr. Ansar, S.Pd., M.Pd., menggugat Dekan FATEPA, Dr. Ir. Satrijo Saloko, M.P., ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram.
Gugatan itu didaftarkan melalui Irvan Hadi & Partners dengan Surat Kuasa Khusus Nomor 42/Advkt-IH/11.09.2025.
Untuk objek gugatan adalah Keputusan Dekan Nomor 2362/UN18.F10/HK/2025 tertanggal 31 Juli 2025, yang menjatuhkan dua sanksi sekaligus yakni penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun dan pembebasan dari jabatan maksimal tiga tahun. Menurut kuasa hukumnya, keputusan tersebut cacat prosedur dan melanggar asas due process of law, karena dijatuhkan tanpa pemeriksaan etik, tanpa pemanggilan resmi, dan tanpa hak pembelaan diri.
“Keputusan itu melanggar asas pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999,” ujar Irvan Hadi, Sabtu (4/10/2025).
Dr. Ansar menilai sanksi itu merupakan bentuk persekusi akademik.
“Saya tidak pernah diperiksa, tapi tiba-tiba dijatuhi sanksi etik. Ini bukan lagi soal pelanggaran etik, tetapi upaya sistematis menjatuhkan saya dari kontestasi akademik,” ujarnya.
Ia menduga keputusan itu bermotif politik karena muncul tepat menjelang pemilihan calon senat universitas.
Kuasa hukumnya menambahkan, kasus ini melanggar Peraturan Rektor Unram Nomor 4 Tahun 2020 tentang Etika Akademik, PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, serta Statuta Universitas Mataram.
“ Kalau kampus saja tidak taat aturan, bagaimana bisa mendidik mahasiswa agar menjunjung nilai keadilan dan hukum?” pungkasnya.
Kuat dugaan Kecurangan di Fakultas Teknik: “Dosen Ditelepon Agar Pilih Kandidat Tertentu”
Dari kasus serupa terjadi di Fakultas Teknik (FT) Unram. Pemilihan calon anggota senat universitas yang digelar Kamis, 25 September 2025, dilaporkan sarat intervensi.
Salah satu calon, Dr. Nur Kaliwantoro, S.T., M.T., menyebarkan pernyataan terbuka kepada dosen, menuding adanya kecurangan dan tekanan langsung dari pejabat fakultas. Dalam pesan yang beredar, Nur Kaliwantoro menyebut sejumlah pejabat fakultas menelpon dan mengirim pesan WhatsApp kepada dosen-dosen muda untuk mengarahkan pilihan ke kandidat tertentu. Bahkan, menurutnya, ada tekanan agar tidak mendukung calon yang dianggap tidak sejalan dengan pimpinan.
“ Tindakan pimpinan dan pejabat Fakultas Teknik tsb jelas merupakan sebuah pelanggaran di mana yang bersangkuta menggunakan posisinya untuk mempengaruhi pemilih yang notabene dosen yang berada di bawah binaannya untuk memilih kandidat tertentu. Dan ini diduga sudah merupakan bentuk dari kecurangan yang mencederai keabsahan pemilihan anggota senat universitas di lingkungan Fakultas Teknik.,” tulisnya.
Ia meminta agar hasil pemilihan dibekukan sementara dan dibentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki dugaan kecurangan.
Jika terbukti, ia menuntut agar dilakukan pemilihan ulang secara offline dengan pencoblosan manual di ruang tertutup bebas dari kamera pengawas.
“Tak masalah saya tidak terpilih, asalkan prosesnya dijalankan dengan fair tanpa kecurangan,” tegasnya.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pimpinan Fakultas Teknik.
Namun, pernyataan itu telah menyebar luas di kalangan dosen dan menjadi pembicaraan serius di lingkungan akademik Unram.
Pelantikan Senat Tanpa SK dan Bukan oleh Rektor: “Proses Tertutup dan Terburu-buru”
Klimaks kejanggalan terjadi pada pelantikan anggota senat Universitas Mataram yang digelar awal Oktober 2025. Pelantikan itu dinilai cacat hukum dan administratif karena dilakukan tanpa Surat Keputusan (SK) Rektor, bahkan dilaksanakan oleh Ketua Senat lama, Prof. Agil Al Idrus, yang masa jabatannya telah berakhir.
Dalam pernyataan resmi kuasa hukum salah satu guru besar aktif Unram disebutkan:
“Pelantikan tanpa SK Rektor adalah pelanggaran substantif dan administratif. SK adalah dasar hukum keabsahan anggota senat, dan pelantikan oleh ketua senat lama yang tidak lagi berwenang membuat proses ini berpotensi cacat hukum,” jelasnya.
Proses pelantikan itu disebut tertutup dan terburu-buru.
Beberapa guru besar yang memenuhi syarat tidak dilantik tanpa alasan tertulis, dan tanpa dasar hukum yang jelas. Kuasa hukum menilai, jika keabsahan keanggotaan senat tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka seluruh tahapan pemilihan rektor berikutnya bisa batal demi hukum.
Tim hukum mendesak agar Rektor Unram maupun Wakil Rektor II Unram segera memberikan klarifikasi resmi, melakukan pelantikan ulang secara sah dan terbuka, serta memulihkan hak-hak akademik dosen yang dikesampingkan.
Sebagai langkah lanjut, tim hukum tengah menyiapkan pengaduan ke Ombudsman Republik Indonesia atas dugaan maladministrasi dan tidak menutup kemungkinan mengajukan gugatan ke PTUN. Dokumen internal dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) tertanggal 25 September 2025 memperlihatkan daftar perwakilan dosen dan guru besar untuk periode 2025–2029.
Namun, beberapa nama yang tercantum dalam dokumen itu dilaporkan tidak dilantik, tanpa penjelasan tertulis dari panitia senat maupun pimpinan universitas.
Pola Sistematis Jelang Pemilihan Rektor
Ketiga peristiwa itu memperlihatkan pola yang sama: adanya intervensi dan pelanggaran prosedur menjelang pemilihan rektor Unram 2025.
“Kalau etika dan tata kelola dijadikan alat politik, maka demokrasi akademik di kampus telah mati sejak awal,” ujar salah satu guru besar senior Unram kepada media ini, Jumat (10/10/2025).
Ia menilai, kondisi ini bukan hanya mengancam proses pemilihan rektor, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap Unram sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri.
“Ini krisis moral dan krisis legitimasi. Kampus kehilangan makna jika hukum dan etika dipakai untuk mengamankan kepentingan,” katanya.
Selain itu juga, sejumlah akademisi menyerukan agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) segera melakukan audit etik dan administratif terhadap seluruh proses pembentukan senat Unram 2025. Mereka menilai, jika pelanggaran ini tidak dikoreksi, maka hasil pemilihan rektor bisa dinyatakan cacat secara hukum dan batal demi hukum.
“Kampus adalah simbol rasionalitas dan keadilan. Kalau pelantikan saja tidak sah, maka rektor yang terpilih pun tidak punya legitimasi moral,” ujar seorang dosen muda yang mengikuti isu ini.
Kasus-kasus yang mencuat di Unram 2025 menunjukkan bahwa demokrasi akademik tidak kebal dari intervensi kekuasaan. Dari ruang dekanat hingga meja pelantikan senat, praktik yang melanggar asas transparansi dan hukum administrasi justru terjadi di tempat yang seharusnya menjadi benteng moral bangsa.
Apabila evaluasi menyeluruh tidak segera dilakukan, Unram berisiko kehilangan reputasi dan kepercayaan masyarakat akademik nasional.
Sebaliknya, penyelesaian yang terbuka, adil, dan sesuai prosedur hukum justru akan menjadi momentum pemulihan integritas kampus dan kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan tinggi di Indonesia.(pr)