Forta
Terjemahan

AmpenanNews. Apakah tindak pidana pemukulan atau pengeroyokan mengharuskan selalu ada Saksi? Pasalnya, laporan seorang wartawati sebuah media online bersama suaminya, yang menjadi korban penggebukan dan pengeroyokan oknum tetangga, ditolak Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polresta Mataram dengan dalih kurang saksi.

Wartawati hariannusa.com Fitriah bersama suaminya yang merupakan korban pemukulan dan pengeroyokan, Selasa (22/9), melaporkan kejadian yang menimpanya bersama suami ke SPKT Polresta Mataram. Namun oleh pihak SPKT, kedua korban diarahkan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Mataram, yang kemudian menyarankan kepada kedua korban untuk dilakukan mediasi dengan pelaku.

“Saya diarahkan ke PPA kemudian oleh PPA katanya akan dilakukan mediasi oleh Bhabinkamtibmas dan Kepala Dusun (Duman Indah, red). Tapi ini kan saya dan suami saya dipukul dan boleh dikatakan dikeroyok. Bahkan saya diinjak,” ungkapnya saat bersama wartawan lain meliput kegiatan HUT Lalu Lintas ke-65 di Mapolda NTB.

Baca Juga :  Universitas Mataram Lepas 166 Mahasiswa Kampus Mengajar III

Dengan sedikit meringis menahan rasa sakit di bagian atas pinggang bekas pemukulan, wartawati yang akrab disapa Fitri itu mengatakan bahwa sebagai sesama manusia, pihaknya dapat memaafkan perbuatan pelaku. Namun sebagai warga negara yang memiliki hak dan dilindungi hukum, pihaknya menginginkan pelaku diproses hukum untuk memberikan efek jera.

“Kalau tidak diambil tindakan atau proses hukum, nantinya pelaku akan seenaknya sendiri melakukan tindakan pukul-memukul orang, hanya karena bisa selesai dengan kata maaf. Terus terang saya dan suami serta anak saya merasa tidak tenang dan terancam, karena keluarga mereka merasa selama ini tidak ada yang berani melawan mereka,” jelas Fitri.

Mendengar keterangan korban, sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap rekan seprofesi, usai acara Peringatan HUT Lalu Lintas ke-65 puluhan wartawan hukum dan kriminal (hukrim), yang akrab melakukan peliputan kegiatan di Polda NTB dan Polresta Mataram, bersama-sama mengawal korban ke SPKT Polresta Mataram untuk mendesak diterimanya laporan tindak pidana pemukulan.

Baca Juga :  Mengenal Baju Adat Sasak Yang Dikenakan Oleh Presiden Jokowi.

Namun alih-alih laporan diterima, SPKT Polresta Mataram kembali memanggil Unit PPA dan ditegaskan kembali bahwa untuk laporan dibutuhkan dua orang saksi pemukulan. Karenanya, perwakilan Unit PPA Polresta Mataram pun kembali mengarahkan untuk dilakukan mediasi.

Menanggapi hal tersebut, kuasa hukum korban Nurdin Dino, S.H. mengatakan bahwa tidak ada pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mensyaratkan laporan tindak pidana pemukulan harus ada dua orang saksi.

“Suruh baca undang-undang lagi itu Unit PPA Polresta Mataram. Mana ada ketentuan untuk melaporkan tindakan pemukulan harus ada dua saksi. Tidak ada itu,” tandasnya.

Kuasa hukum yang acapkali mendampingi media dan wartawan, saat mediasi di rumah Kepala Dusun Duman Indah yang juga dihadiri Kepala Desa Duman serta Bhabinkamtibmas mengatakan, mediasi bisa saja dilakukan namun proses hukum atas dugaan penganiayaan harus tetap dilanjutkan.

Baca Juga :  3.699 Kali Gempa di Lombok Selama Tahun 2018

“Mediasi ini boleh-boleh saja sebagai upaya menekan konflik. Namun karena kita berada di negara hukum, maka proses hukum tidak boleh berhenti sampai disini dan harus tetap dilanjutkan atas dugaan penganiayaan yang direncanakan,” ujarnya.

“Pihak aparat juga tidak bisa berdalih hanya karena saksinya satu orang lalu dianggap kurang saksi. Kan ada bukti-bukti yang menguatkan. Sedangkan pihak korban selain menderita cedera juga secara sosial nyawanya merasa terancam, karena ada dugaan percobaan pembunuhan berencana,” terangnya. Forta.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments