AmpenanNews. Staf Ahli Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman Laksamana Muda (Laksda) TNI Yusup, Rabu (24/3/2021), mengunjungi Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas I TPI Mataram guna memperoleh gambaran komprehensif, terkait antisipasi dan penanggulangan penguasaan asing di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan instumen Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) dan kebijakan selective policy.
Didampingi Kepala Kanim Mataram Onward Victor, Kepala Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kemenkumham NTB I Nyoman Surya Mataram, saat menerima Staf Ahli Menko Polhukam mengatakan setidaknya terdapat 1.570 warga negara asing (WNA) yang ada di NTB.
“Jumlah orang asing (WNA, red) yang menikah dengan WNI di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 273 orang, dan jumlah orang asing yang menetap sebanyak 1.333 orang,” sebutnya.
Sementara dalam sesi diskusi Laksda TNI Yusup menyampaikan, untuk memperkuat fungsi pengawasan keimigrasian diperlukan menggiatkan Tim Pora, dengan berkoordinasi dan atau bersinergi bersama instasi terkait hingga tingkat kecamatan.
“Selain itu, agar petugas Imigrasi di TPI melaksanakan kebijakan selective policy, sehingga proses seleksi atau profiling terkait WNA yang keluar masuk wilayah Indonesia dapat dilaksanakan dengan ketat,” ujarnya.
Sedangkan guna menjamin pelayanan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta untuk mencapai predikat WBK, kata Yusup, Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram perlu memastikan agar pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dilakukan secara cashless (e-money atau pembayaran melalui perbankan atau kantor pos).
Untuk diketahui, dalam Rapat Koordinasi (Rakor) yang membahas isu-isu strategis di Provinsi NTB, Yusup menyampaikan bahwa NTB yang terkenal kaya akan panorama dan keindahan alam, menjadi potensi yang menggiurkan bagi investor dan WNA untuk berinvestasi. Tak hanya sekedar investasi, bahkan sebagian dari para WNA telah melangkah ke arah kepemilikan dan atau penguasaan hak atas tanah, yang diupayakan melalui penyelundupan hukum.
“Praktek-praktek penyelundupan hukum tersebut seperti mengawini atau menikahi warga lokal, melalui perjanjian pra-nikah yang mengatur segala ketentuan yang disepakati kedua mempelai,” ungkapnya.
“Tanah yang dibeli menggunakan atas nama suami atau istri yang warga negara Indonesia (WNI, red), tetapi pengelolaan atas segala isi di atas maupun di dalam tanah dilakukan oleh warga negara asing,” lanjutnya.
Selain itu, kata Yusup, ada pula WNA atau investor asing berupaya melalui perjanjian nominee. Dimana perjanjian itu menggunakan nama WNI dan pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada WNA, untuk bebas melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang dimiliki.
“Praktik nominee ini penting untuk dilarang, karena membuat peranan investasi asing dalam mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal,” tandasnya.
Yusup mengatakan, di NTB sendiri terdapat kurang lebih 45 hotel atau resort dengan keterlibatan WNA dalam kepemilikannya. WNA tersebut berasal dari Belanda, Jepang, Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, Swedia, Australia, Selandia Baru, Italia, Argentina, dan Malaysia.