Terjemahan

AmpenanNews – Menurut Aaron Wolf, profesor geografi di Oregon State University yang mendalami manajemen sumber daya air dan kebijakan lingkungan, ada tiga isu utama terkait air pada abad 21. Isu yang utama adalah yang paling mendasar: kekurangan air. Kondisi tanpa air bersih akan sama mematikannya dengan malaria atau HIV/AIDS. Masalah kedua adalah dampak politik dari ketiadaan air. Contohnya di Suriah, kekeringan yang mengubah sejarah itu kemudian mendorong orang-orang bermigrasi ke kota-kota, menyebabkan naiknya harga pangan, dan memperparah ketegangan antar-negara yang memang sebelumnya sudah ada.

Pada akhirnya mereka menjadi “pengungsi iklim”, yang pergi ke negara lain untuk mencari tempat dengan ketersediaan air yang lebih baik, dan pada akhirnya menyebabkan ketegangan politik. Isu terbesar ketiga adalah aliran air yang melewati batas negara dan bergerak dari satu negara ke negara lain. Dan di sinilah munculnya diplomasi air antar-negara.

Air tercatat dalam sejarah sebagai sumber sejumlah konflik di dunia. Sebut saja perang saudara di Chad, Darfur (Sudan), Gurun Pasir Ogaden (Ethiopia) dan Somalia. Belum lagi persoalan di Yaman, Irak, Pakistan dan Afganistan, yang semuanya berada di daratan tandus. Kelangkaan air menyebabkan gagal panen, hewan ternak sekarat, kemiskinan ekstrem, dan keputusasaan. Kondisi ini menyebabkan pemerintah setempat kehilangan legitimasi, karena tidak mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, yakni air bersih dan kebutuhan cocok tanam.

Sementara itu, tak jauh dari Indonesia, dua negara tetangga membuat perjanjian khusus soal air. Singapura dan Malaysia. Setelah memisahkan diri dari Malaysia pada 1965, Singapura baru sadar bahwa ada masalah besar: tak memiliki pasokan air. Di daratan Singapura tidak ada mata air. Baik untuk rumah tangga maupun industri. Karenanya, sejak lama wilayah itu hanya mengandalkan pasokan air dari aliran sungai di Johor, Malaysia, yang masuk ke wilayahnya. Hampir semua negara di dunia mengalami persoalan pelik perihal debit air yang semakin menipis sebagai dampak dari perubahan iklim.

Baca Juga :  Disertasi Seks Diluar Nikah

Indonesia adalah salah satu negara dunia yang kerapkali yang terpapar bencana defisit air/kekeringan. Pusat Analisis Situasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Pastigana BNPB) pada bulan Juni lalu misalnya memperkirakan akan terjadi hari tanpa hujan kategori ekstrem atau lebih dari 60 hari di wilayah-wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Secara teoretis, fenomena kekeringan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis, yaitu:

  • Kekeringan meteorologis, yaitu kekeringan yang berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim di suatu kawasan;
  • Kekeringan hidrologis, berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah, diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah;
  • kekeringan agronomis, yaitu kekeringan yang berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis, dan
  • kekeringan sosial ekonomi, yaitu kekeringan yang berkaitan dengan kondisi di mana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi dan agronomi. Tak heran kemudian, persoalan kekeringan dan kelangkaan air kilan-berkelindan dengan persoalan kemiskinan karena defisit air akan menyebabkan rendahnya produktivitas (ekonomi).

NTB adalah satu daerah langganan ‘penyakit alam’ bencana kekeringan. Siklus alamiah ini tak dapat dielak karena kountur alamnya memang rentan akan terjadinya fenomena tahunan ini. Sebagai fenomena laten mestinya kita di NTB lebih dewasa menyikapi bencana kekeringan dengan mapping dan mitigasi untuk meminimalisir dampak negatif dari bencana kekeringan.

Mitigasi (bencana kekeringan) adalah keharusan untuk mengurangi dampak bencana, yang bisa dilakukan sebelum terjadinya bencana, termasuk kesiapsiagaan dan penyusunan rencana jangka panjang untuk mengurangi dampak bencana. Mitigasi kekeringan menjadi tanggung jawab pemerintah yang memerlukan kerja sama dari para pemangku kepentingan lain, seperti masyarakat dan dunia usaha.

Baca Juga :  Hari Keluarga Nasional dan Penguatan Fungsi Keluarga Menghadapi Covid-19

BPBD NTB misalnya telah memetakan daerah yang rawan bencana kekeringan yang mencakup 69 kecamatan, 302 desa, dan 9 kota/kabupaten serta mengancam 185.708 keluarga atau 674.7017 jiwa terdampak. Penanganan secara darurat seperti dropping air bagaimanapun perlu dilakukan tapi itu tidak menyelesaikan masalah yang menahun ini.

Tangkinisasi air seakan menjadi kultur musiman yang tak dapat dihindarkan. Apa boleh buat. Tak ada pilihan lain yang dapat dilakukan pada kondisi krusial ketika bencana kekeringan melanda sekalipun upaya ini hanya dapat memenuhi kebutuhan akan air yang sifatnya urgen serta hanya mungkin dilakukan sementara waktu untuk kebutuhan makan, minum, dan pokok lainnya demi menyelamatkan warga masyarakat terdampak dari kekurangan air, penyakit epidemik, dan lain sebagainya.

Kondisi seperti ini memang tidak baik dibiarkan berkepanjangan serta berlarut karena efeknya akan sangat banyak bagi keberlangsungan hidup manusia. Efek sosial-ekonomi dari bencana kekeringan jelas tidak ringan karena akan mengurangi produktivitas tanaman, dan hutan; mengurangi persediaan air; kelaparan, malnutrisi, meningkatkan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan serta kerusakan habitat flora fauna; memberi dampak buruk pada kualitas hewan ternak; meningkatkan kematian binatang peliharaan; memungkinkan munculnya penyakit pada tanaman; menimbulkan erosi dan memicu bencana alam lain semisal banjir, dan yang tidak kalah menakutkan adalah akan menurunkan hasil pertanian dan tanaman produksi, berkurangnya tingkat kesejahteraan petani, dan memicu tingginya angka inflasi akibat defisit persediaan pangan (www.fao.org. Drought, FAO Land & Water).

Kemiskinan dan rendahnya produktivitas ekonomi adalah sisi lain yang tak dapat dihindarkan dari bencana kekeringan. Defisit kesejahteraan akan semakin sulit diurai seperti yang terjadi di banyak negara-negara di Afrika.

Pemerintah (pusat dan daerah) melakukan upaya pengeboran sumber air/pompanisasi di beberapa titik yang berdekatan dengan lokus berdampak kekeringan. Strategi ini ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan air yang lebih besar seperti untuk kebutuhan lahan pertanian dan peternakan.

Baca Juga :  Desain Pembelajaran Masa Bencana: Belajar dari Masa Pandemi

Revitalisasi dan pembuatan danau (buatan), embung, juga waduk serta bendungan di lokasi-lokasi yang rawan kekeringan untuk menampung air saat musim hujan dan mengatasi kekeringan di musim kemarau adalah upaya yang digenjot oleh pemerintah belakangan ini untuk meminimalisir krisis air.

Kita masih punya waktu untuk menyelamatkan paruh dunia dari kelangkaan sumber air bersih dengan melakukan penanaman kembali pohon-pohon, reboisasi, pemeliharaan hutan-hutan lindung dan tropis yang berfungsi dengan daerah resapan dan penyimpan air. Masyarakat pun harus semakin sadar bahwa persoalan kekeringan dan kekurangan air bukanlah persoalan yang tak mungkin diselesaikan. Pembuatan sumur resapan, biopori, penanaman pohon serta ruang terbuka hijau adalah peran-peran kecil yang dapat dilakukan oleh masyarakat di tengah keterbatasan pemerintah menanggulangi bencana kekeringan.

Air adalah masa depan dunia. Konflik dan perang dunia ke depannya salah satunya dipicu oleh perebutan sumber air. Bank Dunia dan PBB telah memperingatkan bahwa dunia dalam bahaya krisis air global. Laporannya bersama Bank Dunia dan PBB menyatakan bahwa saat ini 40 persen populasi dunia mengalami kelangkaan air dan 700 juta orang akan menderita akibat kelangkaan air parah pada tahun 2013.

“Air, perdamaian, dan keamanan saling berhubungan satu sama lain. Tanpa manajemen sumber air yang efektif, kita menghadapi resiko peningkatan konflik antar-masyarakat dan antar-sektor, dan tensi antar-negara pun semakin intensif,” ujar Gutteres, peneliti dari World Research Institute (WRI).

Pesan senada pernah disampaikan oleh Ismael Serageldin, mantan Wakil Presiden Bank Dunia, “Perang di masa depan tidak lagi dipicu oleh perebutan emas hitam (minyak), tetapi oleh emas biru (air)”. Atas dasar itulah, dalam program The Sustainable Development Goals (SDGs) tujuan ke-13 disebutkan “Mengambil aksi nyata untuk menanggulangi perubahan iklim beserta dampaknya” bagi peradaban dunia.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments