Desain Pembelajaran Masa Bencana: Belajar dari Masa Pandemi
Terjemahan

Tulisan ini dilambari oleh asumsi bahwa praxis pembelajaran berbasis bencana menjadi sesuatu yang harus kita pikirkan moda alih pengetahuan serta nilai, mengingat bencana dalam banyak rupa kerap terjadi.

Pandemi COVID-19 yang sedang mendera membuka selubung kesadaran ini. Katastrofi, anomie, dan pelbagai bencana alam, non alam, dan atau anomali yang lahir dari rekayasa manusia merupakan kemungkinan, bahkan keniscayaan yang tidak bisa terhindarkan.

Sangat tidak diharapkan, memang, tapi prediksi-prediksi dari futurolog dunia mendedahkan bahwa ke depannya, anomali dan anomie yang gemuruhnya lebih besar dari pandemi COVID-19 sangat mungkin kembali mengoyak paruh dunia.

Pandemi bukan kali pertama ini saja terjadi. Jauh sebelumnya, wabah memilukan pernah menikam jantung Eropa pada akhir abad ke-14 (1347-1351) yang dikenal dengan black death (maut hitam) membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa.

Korban meninggal diperkirakan antara 17 juta hingga 50 juta jiwa, bahkan mungkin mencapai 100 juta jiwa, sehingga pandemi ini menjadi salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah umat manusia.

Sejarah Islam pun menceritakan untaian nestapa yang sama, baik pada masa Nabi, maupun pada masa sahabat, dan generasi-generasi sesudahnya. Abu Ubaidah bin Jarrah, salah seorang dari 10 sahabat Rasulullah yang dijanjikan masuk Surga, Muadz bin Jabbal yang namanya dijunjung oleh Rasulullah sebagai faqih, ahli fiqih, yang meninggal karena wabah tha’un yang menyebabkan Umar bin Khattab yang memerintah saat itu hanyut dan larut dalam lautan kesedihan.

Makkah pun yang menjadi pusat kosmologi Islam pernah ‘lockdown’. Dalam kitab ensiklopedi sejarahnya yang bertajuk Inba’ al-Ghumar bi Abna’ al-’Umr, al-Asqalani juga mencatat peristiwa wabah penyakit yang melanda Makkah pada tahun 827 H.

Wabah itu menelan korban meninggal dunia sebanyak 40 orang setiap harinya hatta menyentuh angka sebanyak 1.700 jiwa.

Pada masa itu, masjid-masjid di Makkah al-Mukarramah, termasuk Masjid al-Haram ditutup.
Apa yang hendak disampaikan, pandemi hanyalah tragedi pengulangan sejarah: penderitaan, kemalangan, kesakitan, dan kematian. Inilah kemurungan yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19.

Baca Juga :  Lebih Fokus Menumbuhkan Perekonomian , Aspek Pendidikan di NTB Kurang diprioritaskan

Kekhawatiran dari irisan pandemi COVID-19 inilah yang menjadi dalih diliburkannya praktik pembelajaran di awal Corona merebak. Sejatinya, dalam banyak kasus bencana, pemerhentian asuhan pengetahuan dan juga nilai merupakan sesuatu yang sangat dimaklumi.

Konsekuensinya adalah, anak-anak yang harus diasuh kognitifnya, afeksinya, juga psikomotoriknya terabaikan hak-haknya.

Wajar pada akhirnya ini termaafkan karena paradigma belajar yang masih membatasi wilayah sumber-sumber belajar (leaning resourses) pada ruang-ruang kelas sekolah dan pendidik.

Corona telah membuka kotak pandora rezim pembelajaran yang lama dininabobokan dengan sumber-sumber pembelajaran yang dalam praktiknya cenderung miskin akseptabilitas nya.

Pengalaman pandemi yang telah berlangsung dua tahun lebih telah membuka cakrawala baru tentang reaktulisasi sumber-sumber pembelajaran.

Pandemi COVID-19 membawa blessing in disguise: kekacauan sekaligus mengantarkan dunia pendidikan mengalami transisi moda pengetahuan dan nilai berbasis digital serta kesadaran akan sumber-sumber belajar yang melimpah.

Penulis karenanya mengatakan bahwa dunia sedang berada dan dikurung dalam laboratorium, workshop massal, latihan bersama yang ‘dibidani’ oleh COVID-19 harus melahirkan produk pikiran dan tindakan yang resilientif, solutif, dan kontijentif atas posibilitas bencana yang kerap terjadi.

Prospektus inilah menurut penulis yang lahir dari kebijakan pembelajaran pada masa pandemi COVID-19 harus menjadi starting point modus operasi praktik pembelajaran damai bencana yang terabaikan dalam wacana pendidikan kita.

Oleh karena itu, redesain-rekonseptual implementasi pembelajaran merupakan keniscayaan.

Redesain pembelajaran pada masa pandemi COVID-19 merupakan sebuah keharusan karena penerapan desain pembelajaran pada kondisi normal dibawa ke dalam situasi anomie, jelas pilihan praktik-implementatif pembelajaran yang rentan melahirkan ketidakmampuan (maladjustment), baik dari pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, dan juga lembaga pendidikan.

Oleh karena itu, COVID-19 satu sisi adalah petaka bagi dunia, tapi sisi yang lain juga membidani munculnya gagasan yang bernas tentang sistem dan moda transfer of knowledge dan transfer value yang modus operandi praksisnya (seharusnya) dapat diadopsi dalam suasana kebencanaan yang didukung oleh sarana dan prasarana teknologi digital yang memadai.

Dengan demikian, peliburan dari aktivitas pembelajaran sebagai akibat dari terjadinya bencana dan dari kekosongan sistem pembelajaran berbasis kebencanaan dapat dihindari dan alih pengetahuan serta nilai dapat dilakukan sekalipun dalam kondisi kedaruratan bencana.

Baca Juga :  Gubernur Lockdown Beberapa Tempat di Nusa Tenggara Barat

Hal lain yang menarik pada masa pandemi COVID-19 adalah menguatnya (kembali) otoritas dan urgensi pendidik. COVID-19 telah membuka ruang kontak akses ke sumber-sumber pembelajaran yang terakomodasi dalam sistem pembelajaran jarak jauh, daring maupun luring, blended learning, dan atau moda transmisi lainnya yang memungkinkan terjadinya interaksi edukatif dalam asuhan teknologi.

Hanya saja faktanya, teknologi pendidikan telah berkembang dengan cepat tidak bisa menggantikan eksistensi pendidik sebagai sumber ilmu dan inspirasi nilai serta spiritual.

Oleh karena itu, teknologi dan media pembelajaran serta aneka sumber pembelajaran lainnya sekalipun telah mengalami lompatan yang signifikan, namun eksistensi pendidik tetap tidak tergantikan posisinya sebagai agensi pengetahuan.

Kredo dunia pendidikan mengatakan bahwa al-thariqatuh ahammu minal maddah (metode lebih penting dari materi), namun penulis ingin menyampaikan bahwa ambahkan bahwa al-mudarris ahhamu minal thariqah wal maddah (pendidik lebih penting dari metode dan materi).

Secanggih apapun teknologi di dunia secara fungsional hanya sebagai media yang membantu proses pembelajaran dan tidak dapat menggantikan peran sentral guru.

Guru memiliki peran dan tanggungjawab dalam pembinaan mental, perkembangan fisik, sosial dan rohani siswa.

Guru merupakan spiritual father yang mempunyai tugas dan tanggungjawab serta memiliki peran yang sangat penting dalam membina jiwa, watak dan kepribadian peserta didik.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan ke depan adalah memperkuat kompetensi digital pendidik agar materi-materi pembelajaran menjadi lebih mudah diserap dan edukatif karena peserta didik yang dihadapi sekarang merupakan generasi Z milenial yang friendly dengan dunia digital.

Bencana tetap akan menjadi persoalankita. Ia hadir membersamai peradaban manusia. Mengintip, mengancam, menghancurkan, serta meniadakan adalah karakter laten yang melekat pada bencana.

Pandemi COVID-19 yang sedang dan telah terjadi seakan memutar tentang kedirian manusia dengan segala peradaban yang dibangun di atasnya tanpa kesiapan sama sekali untuk menghadapinya.

Baca Juga :  Dengan Bangga Menambah Deretan Profesor UIN Mataram Kukuhkan 3 Guru Besar Baru

Kedepannya, bencana bahkan pandemi dunia boleh jadi akan jauh lebih buruk dari apa yang sedang terjadi sekarang ini: ruang ketidakaturan-keacakan-keanomalian sangat mungkin terjadi.

Namun, tanpa harus menunggu terjadinya tragedi baru dalam rupa pandemi global, kita Indonesia, merupakan daerah yang rawan bencana. Pandemi COVID-19 telah menegur kita: hidup dalam dunia yang rentan bencana, namun tanpa disertai dengan rencana kontijensi pembelajaran dalam suasana kebencanaan.

Oleh karena itu, Pemerintah perlu memikirkan cetak biru (blue print) rencana kontijensi praktik pembelajaran dalam suasana kebencanaan.

Kebijakan Pemerintah melalui Surat Edaran Bersama 4 Menteri menjadi pintu masuk untuk menyusun serta menyempurnakan sistem pembelajaran dalam suasana kebencanaan.

Pemerintah juga perlu menimbang untuk membentuk Sub Direktorat Pendidikan dan Kebencanaan yang fokusnya adalah pada disaster management of education yang berisikan think tank yang expert di bidang kebencanaan dan teknologi digital pendidikan.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kurikulum sekolah siaga bencana untuk diterapkan di setiap sekolah mengingat kondisi geologi dan geografis Indonesia yang rentan terjadinya berbagai bencana.

Di luar itu, workshop, pelatihan, peningkatan penguasaan information technology (IT) untuk guru, siswa, lembaga pendidikan, bahkan orang tua siswa untuk menyelaraskan serta memantaskan diri dengan inovasi-inovasi pendidikan sebagai konsekuensi dunia yang sedang berada di era distrupsi.

Seandainya kebingungan demi kebingungan yang mendera dalam mengelola pembelajaran di masa pandemi COVID-19 dan dalam setiap bencana hanya membuahkan ketakutan yang berujung resistensi terhadap tranformasi digital pembelajaran, boleh jadi kita seperti apa yang disampaikan oleh Miriam de la Croix kepada Mingke dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer tak ubahnya ‘menyerahkan diri pada maut dan kehinaan’.

Padahal, kodrat manusia ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu pengetahuan. Pikiran-pikiran di atas adalah pembelajaran dari kutukan COVID-19 sekaligus akan menjadi legacy Pemerintah ini untuk menjawab kekosongan sistem pembelajaran berbasis kebencanaan yang memang luput pikiran kita.

Penulis
DR. H. Ahsanul Khalik, S.Sos., MH.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Barat

 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments