Isu Isu Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Terjemahan

Oleh: Sherly Kurnia Dafani
Program Studi Sosiologi, Universitas Mataram

Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Pendidikan memiliki peran penting dalam membangun peradaban manusia. Pendidikan sejatinya dibutuhkan untuk peningkatkan kualitas sumber daya manusia. Karena itu, pendidikan berkaitan erat dengan berjalannya pembangunan sebab sumber daya manusia yang berkualitas akan dapat mempercepat pembangunan. Dalam realitanya, pendidikan di masing-masing negara memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Kualitas pendidikan di negara maju terlihat jelas berbeda dengan kualitas pendidikan di negara berkembang.

Perbedaan ini dapat dilihat dari segi taraf hidup masyarakatnya yang mana pada masyarakat di negara maju memiliki taraf hidup yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki kualitas pendidikan yang masih rendah. Hal ini karena pendidikan di Indonesia masih diselimuti oleh berbagai permasalahan yang rumit dan tak pernah usai. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut terkait dengan isu-isu yang menyelimuti dunia pendidikan di Indonesia:

Berbagai permasalahan terkait dengan guru Kualitas guru yang rendah
Guru merupakan salah satu komponen penting dari sistem pendidikan dimana guru memiliki peran penting dalam berjalannya kegiatan belajar mengajar. Seorang guru dituntut memiliki kompetensi yang baik agar dapat membangun generasi mendatang yang lebih baik. Namun pada realitanya tidak semua guru memiliki kompetensi yang baik. Banyak kita jumpai guru-guru yang kurang dalam penguasaan materi pembelajaran. Misalnya pada guru jenjang Sekolah Dasar (SD), mereka dituntut untuk dapat menguasai semua bidang pelajaran yang mana kadang kala terdapat materi pelajaran tertentu yang kurang mereka kuasai. Akibatnya, banyak guru yang mengalami kesulitan atau terkendala dalam mengajarkan materi pembelajaran kepada siswanya. Hal ini tentunya cukup berbeda jika dibandingkan dengan guru pada jenjang sekolah menengah yang hanya fokus menguasai satu bidang tertentu sehingga mereka lebih kompenten dalam mengajar.

Selain itu, masih banyak guru yang belum profesional dalam bekerja. Hal ini dapat terlihat dari perilaku buruk para guru yang suka meninggalkan kelas ketika mengajar, terlambat masuk kelas, bermalas-malasan di kelas dengan bermain smartphone, mengobrol dengan guru lain ketika dalam proses belajar mengajar hingga mengabaikan muridnya dan sebagainya. Perilaku-perilaku tersebut tentunya memberikan contoh dan dampak yang tidak baik kepada muridnya.

Kesejahteraan guru yang rendah
Guru diklasifikasikan menjadi dua yaitu guru dengan status honorer dan guru dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perbedaan menonjol yang dapat terlihat diantara keduanya adalah pada segi ekonomi dimana gaji yang didapatkan keduanya sangat berbeda. Guru dengan status PNS memiliki gaji yang stabil dan tunjangan sesuai dengan aturan gaji PNS yang ditetapkan didalam perundang-undangan. Sedangkan guru dengan status honorer memiliki gaji yang rendah dan kadang kala jauh lebih rendah dari gaji buruh. Dari beberapa kasus, gaji honorer seringkali dibayar terlambat hingga berbulan-bulan lamanya. Hal ini membuat para guru honorer berusaha mencari pekerjaan sampingan karena gaji mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup. Berbagai permasalahan terkait dengan kesejahteraan guru di Indonesia memang cukup memperhatinkan.

Terlepas dari masalah gaji, masa kerja yang lama dan tidak adanya kepastian dalam mengangkatan guru honorer juga turut andil dalam mempengaruhi hal tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena kurangnya perhatian pemerintah akan kesejahteraan guru honorer. Hal itu kemudian berimbas pula pada produktivitas guru yang menurun karena fokus para guru terpecah antara mengajar dan mencari cara untuk bertahan hidup dengan gaji kecil yang mereka terima.

Penyebaran guru yang belum merata
Ketersediaan guru yang ada di Indonesia dapat dikatakan sangat banyak dari segi jumlah, baik itu guru dengan status honorer maupun guru dengan status PNS. Meskipun demikian, persebaran guru di Indonesia sendiri masih belum merata. Terlebih hal ini dapat kita lihat di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang mana jumlah profesional guru yang ada sangat sedikit. Banyak guru yang enggan untuk mengajar di daerah-daerah tersebut karena beragam faktor seperti biaya kebutuhan hidup yang sangat tinggi, sarana dan prasana yang ada di daerah tersebut kurang memadai, jauh dari keluarga, dan sebagainya. Berbeda dengan daerah lain, misalnya di pulau Jawa yang mana menjadi primadona para guru untuk mengabadi. Hal ini karena pulau Jawa merupakan pusat dari perekonomian Indonesia, yang mana biaya kebutuhan hidup disana tidak setinggi di daerah 3T. Selain itu, di pulau jawa memiliki sarana dan prasana yang jauh lebih lengkap daripada daerah-daerah yang berada di luar pulau Jawa. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penumpukan jumlah guru di pulau Jawa.
Berbagai permasalahan terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam dunia pendidikan

Bullying

Bullying merupakan sebuah tindakan tidak terpuji yang bermaksud untuk mengganggu dan menyakiti seseorang dan dilakukan secara sengaja. Bullying terbagi menjadi dua yaitu bullying secara verbal dan secara fisik. Tindakan bullying ini seringkali terjadi di dalam lingkungan pendidikan dan umumnya dilakukan pelajar secara berkelompok. Korban bullying di lingkungan pendidikan biasanya adalah para pelajar yang memiliki rasa percaya diri yang rendah, kurang optimis, dan tidak memiliki power untuk menghadapi para pelaku bullying. Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa tindakan bullying di sekolah rawan terjadi, diantaranya karena faktor kurangnya pengawasan guru, faktor kepribadian yang kurang dapat berempati pada sesama, faktor ingin menjadi perhatian dari lingkungan pertemanan, faktor ingin mempertunjukkan kekuasaan dan power kelompok, faktor pengendalian emosi yang buruk, bahkan karena faktor pernah menjadi korban bullying. Dampak yang ditimbulkan dari perilaku bullying bagi korban yaitu dari sisi psikologis, dimana korban akan memiliki rasa traumatis. Rasa trauma tersebut akan berlanjut hingga menyebabkan korban sulit untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain, menjadi pribadi yang tertutup, bahkan tak jarang mengalami depresi hingga bunuh diri.

Baca Juga :  Menggali Potensi Sumber Daya Pulau Maringkik

Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual merupakan sebuah tindakan yang disengaja dengan maksud untuk melecehkan seseorang dari segi seksualitas dan disertai dengan pemaksaan atau ancaman. Pelecehan seksual sendiri terbagi menjadi dua, yaitu pelecehan secara verbal maupun pelecehan secara fisik. Pelecehan secara verbal maksudnya adalah korban dilecehkan melalui perkataan vulgar atau yang mengarah pada seksualitas, sedangkan pelecehan secara fisik maksudnya adalah korban dilecehkan dalam bentuk fisik, seperti hubungan intim dan sebagainya. Kasus mengenai pelecehan di lingkungan pendidikan sudah seringkali terdengar dengan rata-rata korbannya merupakan para pelajar dan mahasiswa. Motif pelecehan seksual di lingkungan pendidikan sangat beragam, namun yang paling sering terjadi adalah karena adanya rasa ketertarikan kepada lawan jenis. Contoh kasusnya seperti dosen yang melakukan pelecahan seksual yang didasarkan atas rasa suka sama suka kepada mahasiswanya.

Motif pelecehan seksual lainnya di lingkungan pendidikan juga dapat disebabkan karena adanya ‘power’ yang dimiliki oleh pelaku pelecehan didalam instansi pendidikan. Contohnya kasusnya seperti pemerkosaan kapada mahasiswi oleh dosen karena diancam tidak lulus pada mata kuliah tertentu. Korban pelecehan seksual di lingkungan pendidikan umumnya didominasi oleh perempuan. Tindakan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan ini tentunya memberikan dampak yang begitu besar bagi para korban utamanya dari sisi psikologis.

Diskriminasi

Diskriminasi merupakan sebuah tindakan yang bertujuan memberi perlakuan berbeda pada orang lain berdasarkan kepetingan, ciri, atau karakter seseorang dan dilakukan secara sengaja. Kasus mengenai diskriminasi dalam dunia pendidikan di Indonesia sudah sering terdengar.

Diskriminasi yang terjadi di dalam lingkungan pendidikan terdiri dari berbagai macam bentuk. Misalnya terdapat diskriminasi yang dilakukan terhadap siswa pindahan dari luar daerah yang berbeda suku karena adanya stigma negatif kepada suku tersebut. Kemudian contoh berikutnya yaitu adanya diskriminasi karena kondisi ekonomi keluarga yang rentan terjadi di sekolah elit yang dilakukan oleh kelompok siswa dari kalangan keluarga ekonomi menengah ke atas kepada siswa dari kalangan keluarga ekomomi menengah ke bawah. Contoh lainnya yaitu diskriminasi di sekolah umum kepada siswa penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, tindakan seperti membeda-bedakan antara murid yang pintar dengan yang kurang pintar yang sering dilakukan para guru juga merupakan suatu tindakan diskriminasi.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tindakan diskriminasi di lingkungan pendidikan, namun pada umumnya diskriminasi tersebut terjadi karena adanya prasangka negatif dan stereotip terhadap hal tertentu. Dampak dari diskriminasi di lingkungan pendidikan diantaranya dapat menyebabkan para korban kehilangan kepercayaan diri, merasa terisolasi oleh orang disekitarnya, kehilangan motivasi untuk sekolah hingga merasakan keputusasaan.

Berbagai permasalahan terkait dengan pembelajaran

Jam pembelajaran yang tidak efektif
Indonesia memiliki ketentuan jam pelajaran untuk kategori sekolah menengah yang cukup panjang yaitu sekitar 8 hingga 9 jam perhari. Biasanya dimulai pada pagi hari sekitar pukul 7.00 pagi hingga pukul 16.00 sore dan selama enam hari berturut-turut dalam seminggu.

Belum lagi ketika mendekati hari ujian yang mana biasanya sekolah mengadakan jadwal tambahan untuk membahas materi persiapan ujian. Jam pelajaran yang panjang ini dirasa tidak efektif karena justru membuat para siswa mengalami kelelahan secara fisik karena terlalu banyak belajar. Jam pelajaran yang panjang juga menyebabkan para siswa kehilangan waktunya untuk dapat mengeksplore diri dalam menemukan hal-hal baru dan menghilangkan kesempatan para pelajar untuk mengembangkan minat dan bakat mereka di luar sekolah.

Selain itu, dampak dari jam pelajaran yang panjang juga mengakibatkan stress pada para pelajar akibat materi pelajaran yang terlalu banyak. Hal inilah yang kemudian membuat mengapa banyak para pelajar menjadi malas hingga membenci belajar.

Sistem kurikulum yang tertinggal (tidak mengikuti perkembangan zaman).
Sistem kurikulum sekolah dapat dikatakan masih mengikuti sistem kurikulum lawas yang fokus pembelajarannya berpacu pada teori. Sistem pendidikan di instansi sekolah yang ada di Indonesia masih bersifat monoton dimana pusat kegiatan belajar mengajar bukanlah siswa melainkan guru.

Padahal seharusnya dalam kegiatan belajar mengajar, siswa harus menjadi subjek yang paling aktif bukannya malah yang menjadi pasif. Dalam kegiatan pembelajaran seharusnya lebih diperbanyak kegiatan yang dapat mendorong siswa untuk aktif dikelas seperti berdiskusi, presentasi, tanya jawab, kuis, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dapat membangun softskill siswa seperti publik speaking, creative thinking, dan problem solving.

Softskill seperti ini nantinya akan sangat membantu siswa dalam kehidupan sehari-hari dan juga sebagai bekal masa depan agar siap dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi. Disamping itu, seharusnya sistem pendidikan di Indonesia dibarengi oleh pembelajaran teknologi seperti komputer dan sebagainya. Hal ini penting agar pelajar nantinya tidak tumbuh menjadi masyarakat yang ‘buta teknologi’. Sistem pembelajaran dalam jaringan (e-learning) dengan memanfaatkan teknologi video conference dan sebagainya pada masa pandemi Covid-19 menandakan bahwa saat ini para pelajar telah siap dalam menerima pelajaran berbasis teknologi sebagai sebuah bentuk perubahan. Selain itu, pembelajaran teknologi juga berguna untuk menunjang hardskill para siswa kedepannya sebagai persiapan dalam mengadapi zaman yang semakin modern.

Baca Juga :  Beri Motivasi Agar Masyarakat NTB Gemar Membaca

Kegiatan pembelajaran kurang inovasi dan kreatif.

Penyampaian materi dalam kegiatan belajar mengajar terkesan membosankan bagi para siswa. Hal ini disebabkan karena masih banyak guru yang belum memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi dan kreatif dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Kegiatan belajar mengajar dengan kondisi kelas yang kaku dan sunyi kemudian menyebabkan para siswa akan merasa bosan dan mengantuk di kelas. Oleh karena itu dibutuhkan inovasi dan kreatifitas dalam proses pembelajaran sehingga dapat menciptakan kondisi kelas yang menyenangkan. Contoh inovasi dan kreatifitas yang dapat dilakukan oleh para guru adalah dengan membuat permainan sederhana dengan diselipkan pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskan para siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan benar. Contoh lainnya bisa dengan mengajar sambil diselingi oleh jokes (humor atau guyonan) yang dapat membuat suasana kelas lebih hidup.

Nilai-nilai pancasila yang diajarkan dalam pendidikan tidak dipraktekkan
Instansi pendidikan formal seperti sekolah sejatinya tidak hanya mengajarkan materi pelajaran saja, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai pancasila yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai pancasila berfungsi untuk menggiring para pelajar agar dapat bertingkah laku yang baik kepada orang lain, menjaga kesopanan, patuh pada orang tua, dan sebagainya. Selain itu, pelajaran mengenai nilai-nilai tersebut memiliki fungsi untuk membentuk kepribadian karakter bagi para pelajar.

Berbeda dengan tujuan pengajaran, pada realitanya ajaran mengenai nilai-nilai pancasila tidak begitu diresapi hingga tidak dianggap penting oleh sebagian pelajar sehingga masih banyak yang belum menerapkan nilai-nilai pancasila tersebut secara sempurna didalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya kasus kenakalan remaja yang jelas menyimpang dari ajaran nilai-nilai pancasila. Dampak dari tidak dipraktikannya nilai-nilai pancasila tersebut kemudian dapat membuat para pelajar memiliki karakter kepribadian yang buruk, tidak disiplin hingga berakhir dengan melakukan tindakan penyimpangan.

Beberapa contoh kasusnya adalah masih seringnya terjadi tawuran antar para kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda, kebiasaan buruk dalam membuang sampah sembarangan, suka berkata kasar, berani menantang orang yang lebih tua, meludah sembarangan, bolos sekolah, mengonsumsi minuman kerasdan obat-obatan terlarang, tindakan kriminalitas, dan sebagainya.

Rendahnya minat baca pada pelajar

Minat baca pada pelajar di Indonesia diketahui masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Meskipun ada beberapa sekolah yang memiliki berbagai sarana penunjang belajar seperti perpustakaan, namun efek yang ditimbulkannya yang begitu besar dalam menumbuhkan minat belajar siswa.

Faktor yang mendorong rendahnya minat baca pada pelajar diantaranya karena para pelajar belum menemukan buku bacaan yang menarik bagi mereka, kecanduan media sosial, game online dan platform online lainnya, sarana penunjang untuk baca buku yang kurang memadai, lingkungan yang tidak menanamkan budaya membaca buku sejak dini, dan sebagainya. Dampak dari rendahnya minat baca pada pelajar tentunya menyebabkan para pelajar memiliki karakter yang pemalas dan memiliki pengetahuan yang terbatas sehingga nantinya para pelajar menjadi sulit dalam mengembangkan potensi diri yang dimiliki.

Berbagai permasalahan terkait dengan sarana dan prasana penunjang pendidikan yang kurang memadai
Jumlah sekolah yang terbatas.

Jika diamati, persebaran jumlah sekolah di Indonesia masih belum merata. Bangunan sekolah untuk anak-anak yang berada di daerah pinggiran dari segi jumlah tidak begitu banyak. Keberadaan bangunan sekolah di wilayah pinggiran atau pelosok pun cukup langka untuk ditemukan. Hal ini jelas terasa berbeda dengan daerah perkotaan yang mana keberadaan bangunan sekolah cukup mudah ditemukan bahkan karena itu tak jarang lokasi antara sekolah satu dengan yang lain saling berdekatan.

Faktor yang menjadi alasan mengapa keberadaan bangunan sekolah di wilayah pinggiran atau pelosok memiliki jumlah yang sedikit adalah salah satunya karena kurangnya tanggapnya pemerintah dalam hal memperhatikan pendidikan untuk anak-anak pinggiran.

Dampak dari tidak meratanya jumlah sekolah formal tersebut kemudian mengakibatkan anak-anak di daerah pinggiran harus melakukan perjalanan jauh untuk mencapai sekolah. Hal ini karena lokasi sekolah terdekat biasanya berada di pusat kabupaten.

Akses jalan yang buruk dan jarak rumah menuju ke sekolah yang cukup jauh
Selain permasalahan jumlah sekolah yang terbatas, akses jalan untuk anak pinggiran dalam menempuh pendidikan juga perlu untuk diperhatikan. Sudah banyak kisah mengenai perjuangan anak pinggiran yang menempuh perjalanan yang panjang dan terjal demi mendapatkan hak pendidikan mereka.

Hal ini juga terjadi pada guru-guru yang mengajar di daerah pinggiran yang mana mereka juga mengalami kesulitan dalam akses perjalanan menuju sekolah. Contohnya kasusnya yaitu terdapat anak-anak dari desa pinggiran yang rela menempuh bahaya dengan menyeberangi derasnya aliran sungai untuk dapat pergi ke sekolah. Hal ini dikarenakan sungai yang menjadi tempat mereka menyebrang merupakan satu-satunya penguhubung untuk dapat melintasi daerah seberang akibat tidak adanya jembatan atau jalan yang menghubungkan antar desa. Karena akses jalan yang buruk ini kemudian membuat banyak anak-anak di desa pinggiran seringkali terlambat masuk sekolah.

Baca Juga :  UNMAS Gelar Pelatihan Pelaporan Keuangan Program Kosabngsa

Kemudian contoh berikutnya yaitu adanya kerusakan jalan menuju sekolah di beberapa tempat. Akses jalan yang rusak dan tidak kunjung diperbaiki akan menghambat anak-anak dalam melakukan perjalanan ke sekolah. Faktor yang menjadi penyebab buruknya akses jalan tersebut adalah karena pemerintah kurang dalam memberi memperhatikan perbaikan akses jalan yang memadai pada daerah terpencil.

Fasilitas sekolah yang kurang memadai
Sekolah merupakan sebuah tempat dimana para siswa banyak menghabiskan waktunya untuk belajar, mengembangkan diri, dan bersosialisasi dengan orang lain. Untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut, maka dibutuhkan fasilitas penunjang yang membantu siswa agar lebih fokus belajar serta memberikan kenyamanan bagi semua orang yang ada di lingkungan sekolah. Namun pada realitanya tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai dan layak pakai. Beberapa contohnya yaitu masih banyak sekolah yang memiliki keterbatasan dalam menyediakan buku pelajaran pada siswa serta adanya kekurangan dan kerusakan pada sarana kelas seperti meja, kursi, papan tulis, dan sebagainya. Contoh berikutnya yaitu prasana yang dimiliki sekolah masih banyak yang kurang lengkap seperti perpustakaan, ruang laboratorium, lapangan olahraga, kamar mandi, dan sebagainya.

Selain itu masih banyak sekolah yang kekurangan ruang kelas dikarenakan jumlah murid yang melampaui kapasitas kelas yang berakibat pada dibuatnya sistem pergantian kelas. Kemudian didalam pemberitaan media juga masih sering dijumpai sekolah yang tidak layak guna karena mengalami kerusakan pada atap, tembok, dan lantai sekolah. Karena itu ada baiknya pemerintah dan pihak sekolah segera melakukan perbaikan serta memperlengkap segala fasilitas yang menunjang pendidikan agar tercipta kenyamanan dalam kegiatan belajar mengajar di lingkungan sekolah. Dan juga sebaiknya sekolah-sekolah di Indonesia juga dilengkapi dengan teknologi (seperti komputer) guna menunjang pembelajaran yang berbasis teknologi modern.

Berbagai permasalahan terkait dengan biaya pendidikan

Biaya pendidikan yang mahal
Pendidikan sejatinya merupakan suatu hak yang dimiliki oleh semua orang. Hak masyarakat terkait dengan pendidikan sendiri telah diatur oleh Undang-Undang. Hal ini menandakan keseriusan negara dalam menjamin dan memberikan kebebasan pada setiap warga masyarakatnya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Untuk itu pemerintah membuat kebijakan guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menempuh pendidikan wajib sembilan tahun yaitu dengan cara memberikan subsidi pendidikan.

Pemerintah membebaskan biaya pendidikan untuk jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Meskipun demikian, pada sekolah menengah pertama terdapat beberapa sekolah yang mempunyai kebijakan sendiri dalam membayar uang gedung demi keperluan pembangunan sekolah. Belum lagi ditambah dengan biaya membeli keperluan sekolah seperti seragam, buku dan sebagainya. Kemudian pada jenjang sekolah menengah keatas yang mana diberlakukan biaya Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) yang harus dibayarkan setiap bulan serta tambahan biaya bangunan. Mahalnya biaya pendidikan juga tidak hanya terjadi di instansi sekolah saja, melainkan juga dapat terlihat jelas dalam perguruan tinggi yang menggunakan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) per-semester yang relatif mahal dan uang pangkal yang tinggi untuk mahasiswa dengan jalur seleksi mandiri.

Tentunya hal ini dirasa cukup memberatkan bagi sebagian orang terutama untuk orang-orang yang memiliki kondisi ekonomi menengah ke bawah. Besarnya biaya pendidikan yang dikeluarkan kemudian membuat banyak anak putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena tidak mampu membayar biaya pendidikan.

Beasiswa miskin untuk pendidikan tidak tepat sasaran

Untuk membantu masyarakat yang memiliki ekonomi bawah agar tetap dapat memperoleh pendidikan, maka pemerintah membuat kebijakan mengenai pemberian beasiswa. Beasiswa ini dibagi menjadi dua yaitu beasiswa untuk pelajar atau mahasiswa yang pintar dan beasiswa untuk pelajar atau mahasiswa dari keluarga miskin.

Namun berbagai permasalahan timbul akibat adanya kebijakan ini dimana banyak sekali kasus pemberian beasiswa miskin yang salah sasaran. Faktor penyebabnya karena dalam hal pendataan, digunakan data lama dan tidak melakukan pemutakhiran data. Padahal dengan melakukan pemutakhiran data akan dapat membantu dalam menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan bantuan beasiswa tersebut secara akurat. Karena pada banyak kasus, orang yang mendapatkan beasiswa miskin merupakan orang-orang yang telah memiliki kondisi ekonomi yang cukup baik sehingga tidak memenuhi syarat. Contoh kasusnya seperti anak dari seorang pengacara yang mendapatkan beasiswa miskin padahal keluarganya memiliki kondisi ekonomi yang bagus. Anak dari seorang pengacara ini tidak pantas untuk mendapatkan beasiswa miskin karena keluarganya tergolong mampu.

Belum lagi dana beasiswa miskin ini juga sering disalahgunakan dimana banyak yang memanfaatkan dana tersebut diluar keperluan sekolah.

Hal ini kemudian perlu menjadi perhatian khusus pemerintah karena masih banyak anak-anak diluar sana yang memiliki keinginan kuat untuk menempuh pendidikan formal namun tidak memiliki kesempatan karena keterbatasan ekonomi. Anak-anak seperti ini lah yang seharusnya menjadi sasaran yang tepat untuk mendapatkan beasiswa untuk sekolah.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
terbaru
terlama terbanyak disukai
Inline Feedbacks
View all comments