Anews. Ketegangan politik kembali mencuat di gedung DPRD Lombok Timur. Kali ini, giliran Ketua DPRD, M. Yusri, yang angkat bicara menanggapi laporan seorang anggota Fraksi PDI Perjuangan terhadap dirinya ke Badan Kehormatan (BK) DPRD. Laporan tersebut diduga terkait pelaksanaan pembahasan Raperda tahun jamak yang digelar dalam rapat paripurna sebelumnya.
Dalam keterangannya kepada media, beberapa hari lalu , M. Yusri menyampaikan keberatannya atas langkah politis anggota Fraksi PDIP yang melaporkannya ke BK, meski hingga kini belum ada pemanggilan resmi.
“Sampai hari ini saya tunggu panggilan BK. kendati saya hanya diberi tahu secara lisan oleh BK bahwa ada surat masuk. Itu pun hanya sebatas informasi lisan bahwa ada keberatan dari Fraksi PDIP terhadap saya sebagai ketua DPRD,” ujar Yusri.
Menurutnya, tudingan tersebut tidak berdasar. Ia menegaskan bahwa semua langkah yang diambilnya dalam memimpin sidang sudah sesuai dengan Tata Tertib DPRD, khususnya dalam fungsi pimpinan sidang yang bertugas memimpin jalannya rapat dan menyimpulkan hasil rapat.
“Kalau kita mau jujur, dalam tatib jelas disebutkan tugas pimpinan sidang adalah memimpin dan menyimpulkan. Jadi kalau ada keberatan, seharusnya yang dipersoalkan adalah keputusan sidang DPRD, bukan saya secara pribadi,” tegasnya.
Yusri menjelaskan bahwa salah satu anggota Fraksi PDIP sempat menolak melanjutkan pembahasan Raperda tahun jamak yang masih dalam tahap pendahuluan. Penolakan itu menurut saya merupakan hak politik yang harus saya hormati. Namun langkah anggota PDIP yang tidak menyampaikan interupsi langsung dalam sidang justru dipertanyakan.
“Kami tidak memasukkan nama yang menolak ke dalam gabungan Komisi III dan IV yang membahas lanjutan Raperda. Itu logis. Tapi anehnya, saat kita kembalikan ke peserta sidang, semuanya setuju, termasuk anggota dari PDIP yang kemudian justru melapor ke BK,” ucap Yusri dengan nada kecewa.
“Yang bersangkutan tidak melakukan interupsi di sidang, tapi malah bicara ke media. Ini yang saya pertanyakan. Kalau keberatan, kenapa tidak sampaikan langsung dalam forum resmi (dalam sidang) waktu itu?” lanjutnya.
Drama Lama DPRD: Politik atau Etika?
Konflik internal seperti ini bukan kali pertama terjadi di tubuh DPRD. Beberapa pengamat yang enggan disebut namanya menilai, dinamika yang berulang ini mencerminkan minimnya kesepahaman antara fraksi dalam membaca ruang politik secara institusional, dan bukan sekadar personal.
Sejumlah kalangan juga mempertanyakan urgensi pelaporan ke BK dalam kasus ini, mengingat mekanisme pengambilan keputusan telah berjalan melalui forum paripurna yang sah. Jika laporan ini diterima tanpa verifikasi menyeluruh, dikhawatirkan BK akan menjadi alat politisasi antar fraksi, bukan lagi penjaga etik lembaga legislatif.
M. Yusri sendiri mengatakan siap menghadapi proses apapun di BK, namun menegaskan bahwa yang seharusnya diuji adalah keputusan kolektif lembaga, bukan sikap personal pimpinan sidang.
“Saya siap dipanggil kapan pun. Tapi mari kita jujur dan berpegang pada aturan. Ini soal mekanisme lembaga, bukan urusan pribadi,” pungkasnya.