Terjemahan

AmpenanNews. Segelas kopi pagi menjadi terasa semakin pahit. ketika saya memperhatikan fenomena yang saling menyudutkan, finah dan adudomba. kelompok politik saling bertengkar satu sama lain di media sosial, Fenomena ini menjadi penyambut tahun politik 2019.

Dalam perspektif kekuasaan, kecenderungan itu mulai terasa. Nilai, etika, budaya, disetujui masuk. Jika kita amati desain politik pemasaran dari para aktor politik maka pragmatisme kepentingan politik akan sangat terlihat.

Pada drama politik seperti itu, politik tersandera oleh elit politik dan ekonomi yang terus berbisik di balik layar. Merekalah yang menggerakkan aktor politik. Putusan dan kebijakan politik pun tersirat untuk kepentingan dan keuntungan para elite politik di belakang layar. Untuk itu, setiap aktor politik didandani membuat bak badut politik. Pikiran dan gerak-gerik politiknya telah dirancang sesuai dengan skenario elit politik dan ekonomi sehingga masyarakat media sosial menjadi gaduh.

Baca Juga :  Elektabilitas PAN Terus Naik, Survey Litbang Kompas

Mengapa begitu gaduh, tanpa ada satupun penengah yang berdiri untuk mencerahkan? Mengapa yang berlangsung saat ini justru emosi-emosi yang dibalut dengan rasionalitas?

Raibnya rasionalitas dalam politik melahirkan sebuah istilah populer dalam perbendaharaan kamus politik, yaitu post-truth (objektivitas dan rasionalitas memberi jalan kepada emosi, atau keinginan untuk berpihak pada keyakinan meskipun fakta menunjukkan sebaliknya).

Di era post-truth, tulis Fransisco Rosales (2017), apa yang tampaknya benar, menjadi lebih penting daripada kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang bersumber pada rasio, fakta, dan objektivitas. Sementara “benar” adalah kategorisasi yang berdasarkan pada keyakinan diri, emosi. Tolok ukurnya adalah “kebenaran saya”, tak perlu melalui tahapan uji publik dan diskursus. Akhirnya, fakta objektif kurang berpengaruh terhadap opini publik daripada seruan terhadap emosi dan kepercayaan. Dalam situasi politik yang bersumber pada “kebenaran saya”, maka sesuatu yang bertentangan dengan “kebenaran saya” boleh dibasmi dengan cara apapun termasuk dengan cara menyebarkan kebencian, persekusi, dan hoaks. Itulah awal mula dari lahirnya barbarisme dalam politik, sumber bagi kekacauan sosial. Dan, ketika kondisi “kebenaran saya” tersebut dimanfaatkan oleh politisi demagogis, tokoh populisme (baik yang berada di kekuasaan maupun dalam masyarakat), maka yang akan terlihat adalah realitas sosial politik yang sangat buruk bagi kenyamanan sosial-kemasyarakatan. Oleh karena itu, iklim demokrasi yang memberi ruang pada pertukaran gagasan yang sehat, terbuka, dan akuntabel, akan memungkinkan terjadinya demokrasi berbasis kecerdasan publik yang matang dan berkualitas. Kualitas kecerdasan publik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana setiap warga mengerahkan segenap potensi kognitifnya dalam mengambil keputusan (decision making process).

Baca Juga :  Panwaslu Jerowaru Melantik 192 PTPS Pemilu 2024

Meskipun drama politik sajian para tim sukses banyak menyita perhatian publik, namun rakyat terus menghasilkan harapan untuk mempertahankan kemurnian politik, yaitu politik yang menyejahterakan.

Rakyat berharap pilkada menghasilkan pemimpin yang mampu menciptakan demokrasi dengan sempurna, di mana kelak tidak mengeluarkan kebijakan yang baik untuk diri sendiri atau golongannya, tetapi kebijakan yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Opini dari : H.M.Hasbi Assiddiqie pegiat media sosial, dengan akun Diqie Lanks.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments